PLAYBOY INTERVIEW : TUKUL ARWANA

Pusat perhatian di senin sampai jumat malam ini bercerita tentang teori lawak versinya, tidak istimewa baginya berciuman pipi dengan wanita cantik, dn melawak dalam kelompok bukan berlomba menjadi yang paling lucu.


Tukul arwana adalah fenomena. Dari panggung lawak, Tukul memandu tontonan empat mata yang merajai rating dari begitu banyak talkshow di televisi. Dia sering memakai bretel alias suspender, aksesori penampilan khas Larry King, pemandu talshow tujuh kali sepekan di CNN yang disebut-sebut popularitasnya akan disamai Tukul di Indonesia. King sering melempar pertanyaan yang menusuk, tapi Tukul hanya memberi pertanyaan ringan berasal dari laptop yang dia tidak terlalu kuasai penggunaannya. Bila ada gangguan sedikit pada laptopnya, dia berteriak “Tiaaaa,” nama anggota tim kreatif yang mengarahkan dan mengirimkan pertanyaan padanya secara nirkabel. Tukul seperti ingin menunjukkan gagap teknologi bukan persoalan hidup atau mati. Dia juga tak minder menunjukkan kemampuan bahasa Inggris pas-pasan. Di tengah kecenderungan orang suka pamer berbahasa Inggris, Tukul justru melakukan kesalahan pelafalan atau terjemahan harafiah menjadi perbuatan yang mengundang tawa. Hanya Tukul host talkshow yang sama sekali tidak ingin terlihat sempurna. Karena yang dia bawakan bukan talkshow yang sebenar-benarnya, tapi lebih bertujuan membuat perut bergucang. Bintang tamu yang dihadirkan pun kerap seperti tidak terlalu diharapkan jawabannya, tapi hanya menjadi sarana improvisasi kelucuan bagi Tukul.


Awalnya pria kelahiran Semarang 16 Oktober 1963 ini tampil sekali sepekan, kini Empat Mata tayang setiap Senin sampai Jumat malam. Empat Mata berhasil menjadi ikon untuk mengangkat pamor Trans7 sebagai stasiun televisi baru hasil akusisi Trans TV atas TV7. Kontrak Tukul pun diperpanjang hingga 260 episode. Berangkat ke Jakarta dari Semarang pada 1985 dengan uang kriman dari temannya, cita-cita Tukul ingin tampil melawak di televisi. Jelas tidak mudah. Tukul harus bertarung hidup dengan beragam pekerjaan, menjadi tukang gali sumur pompa, MC acara kawinan, sampai jadi sopir.


Playboy (P) : Karir Anda sangat terdongkrak dengan Empat Mata?

Tukul (T) : Ya. Saya gak pernah bercita-cita jadi host, penginnya melawak, ternyata fenomenal, tahu-tahu sekarang sudah termasuk artis balikpapan. Naik kelas. Orang melihat saya pinter. Padahal, kamuflase! [tertawa]

P : Bahkan, ada yang bilang Anda jenius.

T : Ya jenius. Melawak itu jatahnya professor. Kalau kesampaian, jadi eksentrik. Lama-lama bisa jadi orang gila.

P : Apa yang susah dari membuat orang tertawa.

T : Ya susah. Bagaimana [membuat] orang terpancing selera humornya. Kalau gak paham, dia nggak ngerti. Orang kan punya level sensitifnya dalam berhumor. Berarti SDM penonton mesti kita baca. Nah, tahu dari mana? Ya flywatch, jam terbang. Dengan jam terbang yang panjang, jadi tahu medan. Siapa yang dihadapi. Kalau saya yang saya pelajari nomor satu itu penonton, kedua bintang tamu, ketiga sound.

P : Kenapa Anda baru begitu terangkat di Empat Mata, di acara sebelumnya yang Anda ikuti tidak?

T : Karena di Empat Mata lebih fokus ke saya. Kalau lawak ka nada beberapa orang. Kalau sekarang jadi nomor satu, di tempat lain gak bias. Namanya orang memancarkan enerji positif, saya jadi pusatnya, motornya.


P : memang konsepnya begitu, atau Anda yang terlalu dominan?

T : itu karena saya ujung tombak. Jadi perhatian.



P : Bintang tamu seperti hanya figuran saja?

T : Mereka tetap saya bagi. Saya main ritme, ketukan. Kalau saya terlalu banyak, saya bagi. Kalau bintang tamunya terlalu jaim, tidak proaktif, saya lempar ke yang lain. Main feeling.

P : Sering terjadi pertanyaan yang Anda lempar seperti tidak mengharapkan jawaban, karena Anda langsung meneruskannya dengan gurauan? Padahal jawaban itu bisa sangat dinanti penonton.

T : Ya kalau serius terus, nanti bukan Empat Mata, talkshow lain.

P : Jawaban seperti apa yang Anda harapkan dari bintang tamu?

T : Proaktif. Makanya saya Tanya dulu sama mereka, pernah nonton Empat Mata nggak? Saya kasih tau formatnya bagaimana.

P : Anda ingin mereka bersikap bagaimana?

T : Serius, tapi belakangnya bercanda. Biar nggak kayak talkshow yang lain. Misalnya saya tanya “Nama kamu siapa?” dibiarkan jawab dulu, lalu kemudian bisa saya sambung dengan humor.

P : Melihat suasana produksi Empat Mata secara live di studio sangat berbeda dengan di televisi menjadi pengalaman yang berbeda. Anda tidak sekedar tampil di TV, tapi menghibur penonton di studio seperti pada jeda iklan?

T : Penonton studio sangat mempengaruhi. Respon dari penonton jadi ukuran lelucon saya diterima atau nggak. Kalau penonton di rumah kan saya tidak tahu. Waktu iklan daripada jenuh, biar mereka ter-charge terus dengan suasana ceria. Jangan sampai mereka bosan menunggu.

P : Reaksi Anda waktu pertama kali ditawari jadi host Empat Mata?

T : Saya bilang, jangan! Saya nggak mampu. Lha wong, saya basic-nya cover boy! Tapi, Pak Apollo [Manager produksi TV7 waktu itu – red] bilang, host itu biasanya yang cakep-cakep, pinter, mereka ingin cari yang tidak umum. Dia bilang, “Siapa tahu kamu bisa seperti Larry King, bertahan sampai 19 tahun.”

P : Pernah mengikuti Larry King Show?

T : Saya malah Larry King yang mana nggak tahu. Asal menyebut aja. Tahunya Larry Holmes. Sampai sekarang tahunya cuma lari pagi. [tertawa].



P : Kalimat Anda untuk opening, break dan closing Empat Mata itu-itu saja. Memang disengaja?

T : Diubah bisa. Kalau kamu punya materi kalimat yang bagus bisa kasih tahu saya.



P : Bintang tamu paling berkesan?

T : Roy Marten bagus, Rano Karno, Mpok Nori juga.



P : Seberapa banyak improvisasi di Empat Mata?

T : Banyak, mungkin 60 persen.



P : Dalam pertanyaan-pertanyaan?

T : Ya ada. Saya juga sering memberi pertanyaan baru dari jawaban yang baru diberi bintang tamu, nggak harus mengikut dari laptop. Seperti kemarin anak itu [penjual batu penggiling bumbu – red] Saya tanya cita-citanya katanya mau jadi polisi. Langsung saya bilang, “Mudah-mudahan Pak Kapolri atau pengurus yayasan kepolisian yang menonton Empat Mata bisa membantu anak ini mencapai cita-citanya.” Sayangnya waktu itu sempit sekali. Karena banyak yang senang rating-nya tinggi, iklannya banyak. Tapi permintaan pemirsa belakangan ini supaya durasinya ditambah 1,5 jam.



P : Anda setuju ditambah?

T : Setuju. Kalau angkanya cocok. Dengan catatan ada yang nyanyi, kuisnya ditambah.



P : Empat Mata dari seminggu sekali menjadi lima hari seminggu. Tidak khawatir penonton jadi bosan?

T : Awalnya takut. Tapi setelah dipikir panjang ternyata talkshow itu nggak ada habisnya. Seperti media cetak, nggak habis-habis bahannya. Bintang tamu banyak. Dan banyak yang bisa dibahas. Misalnya, kamu Gemini dan ini Scorpio, dari bintangnya saja sudah beda. Kamu shio-nya kambing, yang lain shio-nya beda. Dan nggak perlu public figure terus. Bisa dicari tokoh lain. Misalnya pengusaha sukses.



P : Anda ikut dalam konsep kreatifnya?

T : Tidak terlalu. Kalau mereka udah kepepet, baru minta. [tertawa].



P : Popularitas Empat Mata katanya sudah menggeser Om Farhan?

T : Wah itu orang lain yang ngomong. Kalau saya biasa-biasa saja. Saya malah nggak tahu kalau saya juara satu.



P : Bedanya hanya di finansial?

T : Alhamdulillah. Saya sudah bersyukur dan bisa mensejahterakan keluarga. The face country, and the money city. [maksudnya wajah desa rejeki kota –red]. Perubahannya ya yang dulu duitnya sedikit sekarang jadi banyak. Tapi banyak menurut ukuran saya. Kalau menurut ukuran pengusaha ya kecil.



P : Anda benar-benar gaptek?

T : Iya. Saya punya tuh handphone yang canggih, sampai sekarang saya gak pakai. Ini aja [sambil menunjukkan handphone yang dia pakai] cumabisa sms dan nelepon.




P : Kalau PDA yang anda pakai di empat mata?

T : Saya cuma bisa nggeser-geser itu aja [scroll down – scroll up]. Kadang suka kebablasan. [tertawa].



P : Punya komputer di rumah?

T : Punya. Tapi belum apa-apa udah dirusakin keponakan. Eh tahunya Cuma kendor kabelnya. Bukanya gimana, nyalainnya gimana, nggak tahu. Belum belajar. Tapi kalau udah belajar, waah bisa ngalahin yang lain.



P : Dari mana asal tepukan tangan khas anda itu?

T : Waktu nonton lomba voli tujuh belasan di Semarang, tahun 82-an. Ada penonton yang tepuk tangannya begitu, terus [saya pikir] kok lucu, ya? Akhirnya ta’ ambil itu.



P : Kalau gerakan bibir?

T : Itu dari ledekan Ramon Tommybens. Semua aja saya ambil. Ilmu itu dari siapa saja.



P : Kapan terakhir kali Anda marah karena diledek orang?

T : Sepuluh tahun lalu. Tapi sekarang saya sudah lapang dada, jiwa besar, karena saya milik orang banyak. Jam terbang pengaruh juga.



P : Anda positif thinking sekali?

T : Harus. Dengan kita memntulkan enerji positif, hasilnya akan positif. Kalau kita punya pikiran jelek, hasilnya negatif. Kalau kita punya enerji positif, negatif akan kalah dan hasilnya akan positif terus. Kalau sombong, itu akan jadi bumerang.

P : Apa yang membuat Anda punya sifat begitu?

T : Baca buku.



P : Buku favorit anda?

T : Dale Carnegie, Norman Will, buku kejiwaan. Ya semua bermanfaat lah.



P : Buku terakhir yang Anda baca?

T : Apa ya? Lupa. Pokoknya di rumah banyak.



P : Bagaimana rasanya sekarang jadi perhatian banyak media?

T : Ya bersyukur sekali. Pers kalau ketemu artis biasa. Ini malah ketemu saya minta foto bareng. Ini fantastis. Luar biasa [tertawa]. Berarti saya familiar, baik hati, pada seneng sama saya. Saya harus bisa mempertahankan.



P : Mulai kapan kondisi begini?

T : Ya minimal, mulai Desember kemarin. Saya tanya sama wartawan, kok sekarang pada foto sama saya. “Habis istri saya penggemar Mas Tukul, ini oleh-oleh untuk istri saya.” Makanya kamu foto sama saya nanti nyesel loh.



P : Media pernah membuat Anda kesal?

T : Kadang ada pemelintiran bahasa. Kayak ada yang kemarin menulis honor saya sekali manggung Rp.30 juta.



P : Oh iya, kami pernah baca itu, di salah satu koran.

T : Waktu wartawan itu wawancara saya, saya terima telepon. Saya sebut angka. Saya bilang, kalau nggak segitu jangan diterima. Saya bilang, jangan direkam ya. Eh, dia [wartawan –red] tulis. Dia nggak tahu, berapa lama, di mana acaranya. Jadi kesannya orang tahunya, wah Tukul harganya segini.



P : Sejauh ini cuma itu yang sensitif buat Anda?

T : Iya. Soalnya dia nggak tahu dampak dari tulisan itu. Ada orang, ada sodara yang nggak nerima dengan berita itu. Dia nggak ngerti.



P : Dari mana ide karakter Reynaldi?

T : Saya sendiri. Biar kontradiksi aja. Nama Reynaldi kan cocoknya kulitnya putih, matanya biru, giginya rapi. Nah ini giginya taring semua [tertawa]. Aku kadang ngaku cover boy, karena jengkel, diskriminatif, cover boy harus cakep. Di luar negeri, ada pemilihan orang jelek. Kamu seneng ya liat saya? Dari tadi senyum melulu.



P : Tapi kan kata istri, Anda tidak jelek?

T : Nggak tahu dia sadar apa nggakwaktu ngomong gitu [tertawa]. Sampai sekarang dia sadar nggak punya suami saya?



P : Kalau kata anak Anda, masa’ dia bilang bapaknya jelek?

T : Jelek luarnya, tapi dalemnya. Woo [tertawa]. My heart is good.



P : Apa yang dulu membuat Anda yakin untuk terus berkarir di lawak?

T : Saya kan tiap hari bercanda sambil nonton terus lawak. Mimpi itu bisa jadi kenyataan. Makanya kalau mimpi harus tinggi, biar kalau meleset nggak terlalu jauh. Contohnya, kalau pengin punya Mercy, meleset ya dapat BMW, meleset lagi Toyota. Jangan mimpi bajaj nanti meleset ke sepeda.



P : Anda 17 tahun untuk mencapai semua ini. Kapan momen merasa paling jatuh?

T : Saya mau putus asa tahun ’94. Waktu itu Bagito lagi ngetop, lawakannya cerdas, yang verbal. Sedangkan saya, lawakan slapstick, norak. Sempet berpikir mau pulang kampung. Terus survey ke daerah. Ternyata lawak tradisional punya pasar juga. Ibarat olahraga, saya pemain bola. Mungkin gaya lawakan saya sepakbola, lebih umum, semua orang masuk. Untuk membikin orang percaya dan menerima itu memakan waktu.



P : Yang membuat anda bertahan?

T : Ketekunan. Kalau menekuni pekerjaan apapun akan menghasilkan. Saya sadar punya potensi tapi orang belum tahu. Belum ada timing yang pas, butuh 17 tahun untuk itu. Dulu saya dikecilin orang, dianggap sebelah mata. Tukul itu bisa apa, lucunya dimana, pelawak daerah, slapstick lagi. Tapi saya terima dengan ikhlas. Makanya doa orang teraniaya itu bukan hanya doa anak yatim piatu tapi juga doa orang yang tekun dan tidak putus asa meski dilecehkan orang.



P : Dilecehkan seperti apa?

T : Kadang-kadang saya ngomong atau mau memberi masukan, nggak didenger. Dan orang suka memberi janji surga. Habis ini dapet ini lah. Konrak panjang lah.



P : Sekarang masih suka dilecehkan?

T : Nggak. Orang itu terkutuk berarti [tertawa].



P : Ada orang yang dulunya melecehkan dan sekarang mengakui Anda?

T : Ada yang begitu, bialng “hebat kamu bisa begini”. Saya bilang aja, yah nasib. Makanya kalau ingin besar harus membesarkan orang lain.



P : Siapa pelawak favorit Anda?

T : Banyak sekali. Tak bisa saya sebutkan satu per satu. Saya belajar banyak dari Mas Tarzan.



P : Belajar apa?

T : Disiplinnya. Dia senior tapi selalu menghargai yang lebih muda. Diajak diskusi. “Sini Kul, enaknya kita bikin gimana nih.” Jadi semua orang bisa tergali idenya, potensinya.



P : Bagaimana pandangan Anda soal pelawak sekarang?

T : Lucu-lucu. Cuma, mereka kadang gak ngerti bagaimana posisinya, apakah plymaker atau striker, dan mentalnya belum siap.

P : Bagaimana dengan acara pencarian bakat pelawak seperti Akademi Pelawak Indonesia [API]?

T : Itu bagus. Tapi diisi dulu sebelum tampil. Ilmu-ilmu. Kalau pengin jadi orang top, harus siap dulu resikonya. Kalau jam terbang tinggi, dia ngetop, habis itu arogan. Yang instant kan begitu. Disiplin. Trus job itu harus diperbanyak, jangan lihat angkanya dulu.



P : Anda pernah melawak di Radio Suara Kejayaan, apa yang berarti dan sana?
T : Radio itu untuk berlatih saja. Saya dan lawak daerah yang humornya pakem, lalu ketemu lawak SK yang taktis, mengandalkan kecepatan verbal, tik tok. Pendengaran harus tajam, bagaimana memotong omongan orang buatjadi baban lawakan. Lalu saya kenal lagi lawak Srimulat. Jadi saya bisa semua. Susab semua itu, yang bisa lawak audio, belum tentu bisa lawak visual, yang visual belum tentu bisa lawak panggung. Orang Srimulat belum tentu semua bisa diajak lawak audio. Karena ada yang kelebihannya di slapstick atau mimik lucu.


P : Anda main dengan Srimulat sejak 1998 sementara kelompok itu sudah jalan mama sekali. Mengalami kesulitan?

T: Makan waktu bertahun-tahun menyesuaikan din dengan atmosfir gaya lawak Aneka Ria Srimulat. Nggak cuma lucu, tapi ada benang merah cerita. Kalau ngomong, takut keliru. Saya tunggu mereka beri ke saya, kok nggak diberi.



P : Waktu itu, Anda belum percaya diri?
T : Percaya diri sudah. Tapi, mungkin mereka belum yakin kalau saya diberi [umpan lelucon], bisa lucu. Melawak itu ibarat main musik, tahu ritme ketukan, 2/2 atau 4/4. Selain jam terbang, harus jiwa besar. Mengerti roh temen arahnya mau ke mana. Ibarat main bola itu, kapten itu bisa membagi mau mengumpan ke striker, playmaker,second striker. Atau langsung long pass. Kalau di televisi biar bahasa kamera enak, hidup. Tilt up dlt down, zoom out zoom in, three shot two shot, gool... gitu kan enak. 1-larus tahu gitu, nggak lucu tok. Lawak itu barus lucu tapi berkesan.



P : Anda pernah mengalami ketidaksiapan mental begitu?

T : Dulu saya begitu. Sekarang saya harus fleksibel. Temen mau ngelucu silakan. Kalau mau jadi artis yang besar, pelawak harus mengerti perasaan rekannya. Kalau satu frame itu saya yang ngelucu terus, nggak enak dilihat di kamera, harus dibagi. Temen mau ke mana. Kamu misalnya kelebihan di A, nah kelebihan itu harus diumpan, jangan ditutup. Jangan hanya seorang yang merasa dirinya paling lucu. Jadi ada persentasinya yang enak. Ada yang 60, yang lain 40. Atau 30-70. Tapi yang 30 itu harus berjiwa besar. Kadang-kadang kalau nggak siap mentalnya nanti bisa ada kecemburuan sosial. Dikira yang laku yang ngelucu terus, duitnya banyak karena bakal dipakai terus.


P : Soal kelebihan setiap pelawak, karena itu dalam kelompok seperti Srimulat peran yang dmmamnkan anggotanya itu-itu saja?
T : Ada pelawak tipe joker umpamanya Doyok, Gogon, Timbul. Mereka itu striker semua. Dan ada yang tipe leader. Nggak bisa yang tampil semua striker. Harus ada leader seperti Eko DJ, Tarzan-nya. Kaptennya ada. Pembagi bolanya ada.

P : Anda di posisi mana?

T : Saya sekarang bisa leader, bisa joker, bisa striker, pokoknya maen feeling.


P : Soal joker dan leader itu teori dari mana?
T : Saya yang ngasih nama itu. Nggak tahu kalau pelawak lain istilahnya apa. Kayak main bola aja, biar hidup. Biar move kamera itu enak.



P : Makanya di Empat Mata ada Pepi [pemain perkusi] dan Vega [gadis bar yang sesekali menimpali dengan lelucon?
T : Ya begitu, saya berikan porsi untuk mereka. Dan mereka saya juga bisa membuat kelucuan baru. Vega itu spontan. Dia lama-lama pintar, lucu dia. Orangnya serius, tapi begitu nyeletuk, nggak enak banget dengernya. Kadangkadang mencela saya juga.


P : Presentasi peran itu asumsinya untuk lawak dalam grup. Kenapa
lawak tunggal atau standing comedy di Indonesia tidak berkembang?
T : Belum, tapi lama lama akan ada. Kalau ada broadcast yang memelopori ya bisa akan ramai.


P : Anda sanggup?
T: Sanggup, sanggup.


P : Kenapa sekarang tidak ada lawak rekaman seperti dulu dilakukan Warkop?
T : Memang udahjarang. Mungkin timing belum pas. Sewaktu-waktu akan seperti dulu lagi, lawak dijual dalam kaset. Empat Mata itu kalau dijual rekamannya bisa laku tuh.


P : Perbedaan melawak audio dengan yang visual?
T : Beda. Melawak itu ada tiga macam. mi menurut kacamata saya. Lawak audio, lawak visual dan lawak panggung. Lawak panggung itu harus situasional dan komunikatif, tahu betul siapa penontonnya. Lawak visual, itu ada kamera, dibatasi waktu, ada sutradara, ada benang merah. In frame, out frame, blocking itu harus paham. Lawak audio nggak dilihat dan fisiknya, tapi kelucuan verbal yang harus kuat.


P : Banyak pelawak mengandalkan skenario. Kalau Anda?

T : Kalau saya nurut aja maunya apa. Kalau skenanio ya skenanio. Mau treatment ya treatment. Saya bisa semua, mau apa saya turuti. Model Extravaganza yang sudah ada pakemnya bisa saya. Model yang jalan mengalir, bisa saya.



P : Enak yang mana?

T : Enak semua yang penting duitnya cocok.


P : Dalam dialog-dialog di Empat Mata Anda terlihat senang dengan zodiak?
T : Saya senang. Bahan itu bisa untuk menutupi kevakuman di panggung, bisa dimanfaatkan.


P : Kami menonton taping Empat Mata di studio. Ada tamu seorang model susah sekali menjawab pertanyaan Anda. Yang Anda sebut “gadis feedback.”

T : [tertawa] Ditanya nggak nyambung-nyambung. Malah enak saya sebetulnya. Tapi kasian dia kalau ‘tak serang terus. Mendingan saya nyerang yang lain. Padahal jawab aja spontan, soal nanti jawabannya bagus ya kelihatan kayak orang cerdas aja. Ini malah ngak nguk ngak. Jadi dia mempermalukan diri sendiri. Gadis feedback [tertawa]. Itu belum tentu bagi semua orang lucu. Kalau saya di panggung ada feedback [dari microphone] ngiiingg itu nggak enak banget. Makanya kalau orang ditanya jawabnya coma ngak ngok, itu juga nggak enak banget.


P : Sering menemui narasumber begitu?
T : Selama ini baru tiga.



P : Kalau sudah begitu tidak ada jurus lain?
T : Kalau dapat begitu paling saya ke audiens, ke Pepi atau nyeletuk ke diri saya sendiri. Kalau dalam beberapa detik nggak ada lucu ya tanggung jawab saya sebagai comedy host.


P : Jadi tnekoensi kelocoan dalam Empat Mata ito dalam hitungan detik?
T : Ya. Karena ito host-nya pelawak. Makanya slapstick ito kadang-kadang menutup. Nggak semua orang suka dengan lawakan verbal.


P : Pernah jadi dibenci orang karena omongan Anda?
T: Iya. Tapi, makanya itu tadi, kita harus banyak belajar. Jam terbang, flywatch. Saya bisa membaca pikiran Anda, akhirnya saya bisa tahu keinginan Anda.


P : Anda menetapkan batasan dalam berlelucon?
T : Dibungkus halus, jangan terlalu berlebihan. Ada rem dari saya.



P : Sampai mana?
T : Jangan sampai orang sakit hati. Kayak kamu pakai kacamata, saya bilang kamu kayak Harry Potter, tapi lama-lama kayak Eddy Silitonga.


P : Pernah jadi berlebihan dan tujuan Anda sakit hati?
T : Nggak. Saya kendalikan.



P : Kenapa ada ide membuat Ojolali Production?
T : Nama itu dan sebuah sinetnon yang saya main. Ini masih kecil-kecilan, mengalir aja. Supaya teman-teman lain bisa belajar melawak yang baik. Kami sening sharing, evaluasi. Kalau petinju harus sering nonton pertandingan tinju, melawak juga. Orang-orang di sini kompetisi juga. Saya cuma ngasih tips. Gimana jadi artis yang efektif dan nggak sombong. Ya seperti ini [menonjok ke salah sato pelawak yang ada di ruangan - red] yang tadi nggak kenal kamera, jadi kenal kamera. Sekarang udah main iklan, sinetron.

P : Setelah Anda sukses tentu banyak sekali yang ingin bergabung ke Ojolali?
T : Di sini auranya positif. Baik untuk melalui proses belajar. Kalau mau yang instan, satu dua hari ngetop, dapat duit nggak bisa. Ada yang nelepon dari daerah, “aku mbok diajak.” Wah enak banget. Kamu kan harus jual muka, pengenalan lingkungan. Mereka harus disadarkan pelan-pelan. Begitu ketemu muka baru mereka tau Tukul kalau ngomong bisa mengena di hati, kalau imannya kuat dia akan salut, kalau nggak kuat bisa benci.


P : Masa kecil Anda seperti apa?

T : Ya sepenti orang-orang, cuma miskin. Orang miskin mainnya di tempat lumpur, nyari yuyu, kepiting, main di sungai.


P : Zaman Anda susah, pekerjaan apa yang paling berat buat Anda?
T : Berat semua. Jadi sopir dari pagi sampai malem. Kayak menghitung hari. Dari pagi, kalau nggak nganter, nunggu rumah, terus nyiramin kembang. Lah itu kerjanya tiga, bayarannya supir. Malem pulang, ngantuk tidur. Kerjanya capek banget tapi tidak berkarya.


P : Anda ingin dikenal sebagai orang yang punya karya?
T : Harus! Berkarya dan bermanfaat. Untuk keluarga, bangsa dan negara. Wah mantap.


P : Sejauh ini bagaimana?

T : Ya seperti yang kamu lihat tadi, orang sedang sedih aja, jadi gembira melihat saya. Mahal sekali itu. Keadaan kena banjir, ketemu saya masih ngikutin, senyam-senyum. Makanya kerjasama antara rumah sakit dengan pelawak itu penting sekali. Pasien dikasih paket komedi. Siapa tahu bisa sembuh.



P : Bagaimana rasanya bekerja dengan banyak perempuan menanik?

T : Ah biasa saja. Saya tuh nggak silau dengan wanita cantik, dengan harta benda juga, dengan popularitas. Tinggal bagaimana cara berpikir kita. Tapi kalau sebagai penonton, lihat perempuan cantik terus pikirannya kotor, ya jadinya kotor. Kalau sudah punya anak istri bisa dinetralisir.


P : Apa yang paling melelahkan dari profesi Anda?

T : Paling sedih, kalau tampil konsumen nggak paham yang namanya lawak. Kedua kalau panggungnya bergema. Saya lempar nggak kena. Manggung di stadion olahraga, muter, panggungnya jauh, sound system-nya nggakjelas. Itu paling sedih, paling melelahkan. Kalau mainnya nggak berhasil, nerima duitnya juga sedih. Kalau main sukses, pulang bisa senyum.



P : Terakhir cukur kumis kapan?

T : Pernah dicukur, malah lucu. Jadinya saya biarin aja. Malah lebih lucu. Itulah kelebihan dari Allah. Kalau dimanfaatkan dengan baik, kekurangan bisa jadi kelebihan.


P : Dari pengalaman lawakan di televisi ada trennya. Dulu ketoprak humor booming, sekarang tidak?
T : Mungkin zamannya udah beda. Tapi nanti bisa muncul lagi. Seperti saya mungkin tiga tahun lagi orang juga bosen. Cari materi lain lagi. Di musik juga kan begitu.


P : Apa yang Anda siapkan bila saatnya nanti Anda tidak selaris sekarang?

T : lya sadar. Macem-macem lah. Yang penting saya sudah menyiapkan diri.


P : Anda kan tidak besar dengan grup lawak. Menurut Anda grup lawak mana yang bagus?
T : Dulu saya dengan grup. Yang pertama Purbaria, Karisma terus Domas, bubar. Saya jalan sendiri. Ngelaba [Patrio Grup red] itu bagus.


P : Kalau Anda merasa klop tampil dengan siapa?
T : Saya dengan siapa saja bisa. Tinggal rekan-rekan paham nggak dengan energi saya.


P : Kalau pengalaman selama mi dengan siapa?
T : Ada si A si B. Kalau saya nyebut nanti yang lain tersinggung.


P : Tidak ada keinginan bikin album seperti Mandra?

T : Kalau cocok angkanya ya mau saja. Saya diajari cara nyanyi yang baik. Dan mudah-mudahan laku lagunya.



P : Tidak ada stasiun televisi lain yang menawarkan kontrak ekslusif agar Anda pindah dan Em pat Mata?

T : Belum ada. Banyak tawaran-tawaran, tapi saya fokuskan ke Empat Mata dulu. Kalau melawak di TV lain ya boleh, asal nggak jadi host.



P : Apa yang membuat Anda sedih?
T : Kalau dibohongi orang. kenapa orang punya sifat seperti itu. senang yang jujur.



P : Kalau jujur, berarti apa yang di televisi dengan Tukul sehari-hari sama saja?
T : Ya. Tapi ada yang disesuaikan. Kalau di mengatur keluarga saya tidak dengan melawak. Saya kan kepala rumah tangga, kalau mengajar anak dengan cengangas-cengenges, lah anak saya gimana. Ya harus serius.

P : Anda tidak lelah orang selalu mengharapkan Anda harus selalu lucu?

T : Betul. Tapi saya arahkan pelan-pelan. Kalau dia arahnya melecehkan, saya lempengkan pelan-pelan di bahasa ekspresi muka. Kalau paham bagus. Kalau nggak sinergi ya saya tinggal, buang energi. Saya sama orang waspada. Orang itu mau ke mana saya baca. ini Jakarta, ada bermacam-macam gaya, kepalsuan. Pura-pura kawan, baik. Tapi bisa terjadi yang tidak kita sangka.


P : Berat mendapatkan cinta istri Anda dulu?
T : Istri saya baik banget. Dalam keadaan saya susah, dia masih mau. Dulu mana ada yang mau sama saya. Karena nggak jelas, Saya pelawak ngetop apa nggak, bisa ngidupin keluarga, nggak jelas. Tanda tanya. Bahasa anunya itu tentatif [tertawa]. Bisa sukses bisa nggak, tapi kebanyakan nggak bisa suksesnya. Saya juga akhirnya bisa menunjukkan tanggung jawab pada keluarga. Kerja keras. Meski itu hanya dapat Rp 20 ribu bekerja dan pagi sampai malam. Melawak dulu belum ngetop mana ada yang mau percaya sama saya. Mana ada yang suruh saya bawa acara. Kalaupun ada yang mau, mereka bilang honornya cuma transport. Itu punya transport metromini Rp 800 [tertawa].


P : Dukungan istri bagaimana?

T : Dia paham kalau cover boy itu harus begini, ke sana ke mari.


P : Sampai kebiasaan Anda cipika-cipika dengan bintang tamu wanita cantik?
T : Yah itu biasa saja buat saya. Mungkin yang ngelihatnya luar biasa itu saya maklumi karena belum kesampaian aja [tertawa].


P : Setahun lalu Anda belum setenar ini ya?
T : Udah. Justru di Indonesia terlambat nih. Di luar negeri, saya udah begini. [tertawa]

P : Waktu untuk keluarga tersita?
T : Oh masih ada. Begitu off, saya ajak mereka ke mana mereka mau. Yang penting anak istri senang. Saya cari duit buat siapa lagi kalau bukan buat mereka.

P : Hari apa Anda libur?

T : Nggak mesti. Nggak ditetapkan.

P : Jadi Anda nggak pernah menolak job karena ingin libur?

T : Nggak ada tolakan. Rezeki nggak boleh ditolak. Kalau rezeki ditolak, nanti rezeki ngomong dengan bahasa rezeki.

P : Ada acara yang Anda batasi?
T : Nggak, yang penting acaranya cocok.

P : Kalau jadi pembawa acara di pesta ulang tahun anak-anak?
T : Nggak apa asal angkanya cocok. Saya bawa orang yang paham membawa lawak untuk anak kecil. Saya tinggal bawa nama saja. Gampang kan.

P : Anda pernah bergaul dengan komunitas musisi jalanan di Bulungan, pernah bernyanyi di Empat Mata?

T : Belum. Dipertahankan untuk belakangan kalau perlu penyegaran ya saya nyanyi saja. Suara saya memang nggak bagus, asal ketukannya pas aja. Kalau nggak pas, berarti pendengaran orang-orang aja yang kurang beruntung.



P : Kenapa pelawak didominasi orang bersuku Jawa dan Betawi?

T : Kenapa ya, mungkin dan awalnya lawakan itu dan dagelan jawa. Zaman kerajaan dulu atau gimana. Dan Punakawan dulu. Saya juga mencari itu. Mungkin pelawak yang pertama nongol itu dan Jawa.


P : Kalau di Ojolali pernah ada dan luar Jawa dan bagaimana?

T : Ada dan memang bingung sendiri. Karena latar belakang budayanya berbeda.


P : Kalau lawakan gaya Betawi lebih cepat dibandingkan Jawa?

T : Ya lebih cepat tek toknya. Kalau di-combine bisa lebih bagus lagi. Saya suka mengamati lawakan Betawi, ambil ilmunya. Seperti Komeng dia cepat sekali. Mungkin karena dia lahir di Jakarta, sejak kecil sudah dengan bahasa itu. Kalau saya yang dan Jawa tentu akan sangat cepat kalau mengeluarkan kalimat bahasa Jawa. Kalau bahasa Indonesia tidak langsung spontan, adajeda yang lebih lama di otak.

P : Anda sering berhumor dalam bahasa Jawa. Anda sadar tidak semua orang bisa mengerti?
T : Kadang-kadang saya ngomong bahasa Jawa, tapi yang bukan orang Jawa mudah mengerti. Ditambah ekspresi dan gerakan mereka dituntun untuk mengerti bahasa itu.

P : Anda punya beberapa numah yang berdekatan, harganya tentu mahal-mahal. Kenapa tidak tinggal di perumahan mahal seperti Pondok Indah, misalnya?
T : Saya senang bersosialisasi dengan orang. Saya senang kenamaian. Kehidupan yang benar-benar itu ya kayak gini, saya menikmati. Kalau di sana kan pulang rumah rasanya terkurung. Di sini ada motor lewat, anak lewat. Kalau 17-an rame, ada gotong royong, pawai. Enak.



P : Anda mau, seandainya diajak masuk partai politik?
T : Tidak. Kalau diajak menghibur ya saya mau aja asal dibayan. Kampanye kalau cocok harganya ya mau. Seniman hanus independen toh ya? Melawak di golongan mana saja.


Sumber : Majalah Playboy Indonesia Edisi Februari

7 comments:

Anonymous said...

puas?!! ngambil seenaknya dari Majalah Sobek (http://majalahsobek.multiply.com) kreatif sedikit dong.... dasar katro, culun, norak, ndeso... kutu kupret, keong racun

Anonymous said...

artikel ini diambil dari majalah sobek yang ditulis dan publish oleh playboy

Anonymous said...

kreatif dikit dong... dasar penjarah! malu sama Mas Tukul

Anonymous said...

puas?!! kamu puas?!!!

Anonymous said...

wong ndeso katroooooooooooooooooooooooooo... penjarah!!!!!!!!!!!!!!

Anonymous said...

kasih link-nya ngambilnya dari mana donggggg....

Anonymous said...

sabar mas kayak memperebutkan harta karun aja....

ya namanya bagi2 informasi...semestinya kalian saling dukung....sama fans tukul...
kok saling iri....heran dechhh