Wajah Tukul dan Pantat Inul

Saya rasa anda semua pasti tahu siapa itu Tukul. Setidaknya dari aksi-aksi menawannya di acara Empat Mata Trans 7. Begitu heboh, menggelikan, memancing tawa, menghina kanan kiri, peluk kanan-peluk kiri, cium kanan-cium kiri, dan segudang aksi yang lain. Bagi anda yang tinggal di luar negeri dan tidak sempat menonton acara Tukul di televisi, saya cuma bisa bilang : Kasian deh lo…


Dan baru beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah tulisan yang sangat bagus di sebuah blog wordpress yang membahas Tukul dengan menghubungkannya dengan Pendangkalan Ruang Publik. Selain itu di blog itu ada tulisan juga tentang Tukul : Tukul atawa Humor ? Humor atawa Tukul ? Saya jadi membuka kembali berkas-berkas (bahasa Inggrisnya : files ?) masa lalu dari kliping-kliping koran dan menemukan apa yang saya cari : Sebuah Opini di Kompas pada bulan Mei 2003 yang berjudul Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib. Bung Jay kemudian memuatnya di blognya dengan judul yang sama : Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua.

Saya memberikan perspektif yang agak sedikit berbeda dari beberapa tulisan diatas.

Konsep ruang publik (public sphere) pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Jurgen Habermas. Intinya ruang publik adalah suatu ruang/arena dimana setiap warga negara mampu melemparkan opini mereka secara diskursif dengan bebas. Saya tidak membahas konsep ruang publik ala Habermas ini, tapi melihat dari sisi lain sebuah fenomena bernama Tukul dan Empat Mata-nya.

Banyak kritik dan banyak juga pujian menyertai kesuksesan acara Empat Mata. Mengapa acara ini begitu sukses sementara pembawa acaranya hanyalah seorang Tukul (you know what i mean ). Mengapa orang dengan mudah diseret kedalam gaya Tukul memperlakukan mereka ? Mengapa banyak penonton (dan juga selebrity yang diundang) tertawa sementara lawakan dan humor yang dibawakan Tukul lebih bernuansa hinaan fisik, beraroma kekerasan psikologis, dan menyinggung asal-usul seseorang ? Dan segudang mengapa yang lain.

Tukul dan Menertawakan Diri Sendiri

Satu hal yang saya catat dari Tukul adalah kecerdasannya dan kemampuannya dalam menertawakan dirinya sendiri tanpa merasa bahwa dirinya sedang terhina. Pusat semua lawakan yang cenderung sarkasme itu adalah dirinya dan orang-orang disekitarnya (pemain band dan “asisten-asisten”-nya). Butuh suatu kemampuan khusus bagi kita untuk bisa menertawakan diri sendiri. Lebih mudah bagi kita, karena tidak butuh kemampuan lebih, untuk menertawakan orang lain dengan humor-humor yang menjurus penghinaan.

Kita sering salah dalam mempersepsikan sebuah humor. Humor dibangun diatas dasar bahwa seseorang bisa tertawa karena suatu situasi tertentu. Tetapi jika situasi itu diri kita sendiri, saya yakin banyak dari kita yang TIDAK SUDI untuk ditertawakan. Tertawaan orang lain atas diri kita sering bisa dianggap penghinaan terhadap diri kita. Itulah yang membuat batas antara tertawaan (humor) dan hinaan sangat tipis.

Dan seorang Tukul mampu mengaplikasikannya dalam bentuk yang paling kasar sekalipun : menghina dirinya sendiri secara fisik. Siapa dari kita yang mempunyai fisik sempurna sehingga pantas menertawakan orang lain yang berfisik “kurang beruntung” ? Kita tahu kalau Tukul bukanlah seorang yang GANTENG (walaupun kagantengan itu relatif) seperti aktor-aktor tak bisa berakting yang banyak kita lihat di sinetron-sinetron. Tapi kemampuannya membangun humor diatas penampilan fisiknya sendiri justru menjadi suatu pujian bagi saya.

Tapi banyak yang bilang bahwa humor demikian adalah humor yang “tidak mendidik”.

Mari kita lihat lagi sejarah lawakan di tanah air ini. Warkop DKI, Bagito, Ngelaba, Komeng, dan lain-lain membangun lawakannya dengan ciri sendiri. Tetapi salah satu ciri yang tidak ketinggalan bagi adalah : membangun tertawaan atas penampilan orang lain. Terasa begitu mudah menertawakan orang, tetapi terasa begitu sulit menertawakan iri sendiri. Mungkin itulah ciri bangsa kita.

Tidak mendidik bagi sebuah humor mempunyai banyak arti.

Yang pertama adalah, konsumen sebuah lawakan

Lawakan mempunyai segmen tertentu. Dan segmen yang disajikan Tukul adalah segmen masyarakat bawah kebanyakan yang mempunyai persepsi berbeda tentang sebuah humor. Lawakan Tukul bukanlah konsumsi umum untuk kalangan Intelektual dan Cerdik-Pandai di negeri ini. Bagi mereka, lawakan Tukul tidaklah mempunyai makna apa-apa alias tidak mencerahkan dan mendidik dengan berbagai kategori-kategori bagaimana sebuah humor harus mendidik.

Tapi bukan disitu letak kekuatan lawakan Tukul. Bagi masyarakat kebanyakan intinya adalah TERTAWA. Dengan cara apapun suatu tertawaan disajikan, jika itu bisa sejenak menghilangkan kepenatan mereka akan masalah hidup sehari-hari, maka lawakan itu tetap mempunyai makna bagi mereka. Setidaknya untuk menghilangkan stress dan tekanan.

Yang kedua, humor adalah humor dengan batasan jaman, tempat, dan selera. Di luar negeri, humor yang disukai adalah komedi situasi atau komedi romantis. Tapi disini, humor jenis komedi situasi tidak mendapat tempat. Sama seperti jika kita mengandaikan musik. Di negeri luar (Amerika Serikat, misalnya) R & B dan Hiphop adalah musik kaum bawah, tetapi disini saya yakin Dangdut dan (mungkin) keroncong adalah makanan kaum itu. Itulah yang membuat suatu humor bisa berbeda persepsi dan kegunaannya tergantung siapa yang mempersepsikannya. Jadi jangan katakan tidak mendidik jika bagi kebanyakan orang mempunyai manfaat dan menyenangkan. Jangan samakan humor ala Tukul dengan Narkoba.

Yang ketiga, Didalam suatu humor yang dikatakan “tidak mendidik” ada “sesuatu yang mendidik”. Apa itu ? Kemampuan seseorang untuk menertawakan dirinya. Itulah pendidikan yang termuat secara implisit dalam lawakan Tukul. Itu pulalah yang seharusnya dimiliki oleh bangsa ini. Menertawakan diri sendiri mengisyaratkan adanya kecerdasan emosi yang tinggi, dan juga syarat untuk kesehatan mental yang bagus. Jadi kalau seseorang BELUM BISA menertawakan dirinya sendiri, jangan salahkan orang yang BISA menertawakan dirinya dengan alasan TIDAK MENDIDIK. Mengapa tidak mencari hikmah dari “lawakan sarkasme” ala Tukul ?

Tukul dan Kegamangan Beridentitas


Ciri khas yang selalu ada dalam acara Empat Mata Tukul adalah adanya acara peluk-pelukan dan cium pipi kiri-kanan (cipiki-cipika)
menjadi sajian pembuka sebelum seorang tamu undangan masuk ke acara talk-show tersebut. Dan biasanya ritual pembuka itu selalu dibarengi dengan keriuhan penonton. Tertawa menyaksikan aksi yang seakan “tidak pantas” untuk disajikan. Bisa saja ada yang ngedumel :
koq orang sejelek Tukul bisa nyium Tamara Blezinsky ? Koq orang separah Tukul bisa memeluk Nia Ramadhani ? Lha gue yang ganteng gini malah nggak kebagian….!!! Sialan si Tukul

Tapi bukan itu masalahnya. Masalah utamanya adalah apakah ritual pembuka itu menjadi ciri khas kita ? Apakah pantas cium pipi kanan-kiri dan peluk-pelukan menjadi identitas kita dalam berinteraksi satu dengan yang lain. Cium pipi dan pelukan bukanlah ciri khas kita dalam berinteraksi. Kita tidak terbiasa melakukannya apalagi di depan umum dan apalagi jika ditonton jutaan pemirsa di layar televisi. Cium pipi kiri-kanan adalah budaya luar yang kita adopsi dan kita tiru, begitu juga dengan pelukan.

Apakah kita mempunyai ciri tertentu yang menjadi identitas kita jika kita bertemu dengan orang lain ? Apa yang akan kita lakukan ? Berjabat tangan, misalnya, adalah cara khusus ketika kita menyapa orang lain, tetapi apakah berjabat tangan juga adalah ciri asli kita ?

Bagi beberapa orang, cara Tukul bernuansa ketidaksopanan. Tapi ketidaksopanan adalah sesuatu yang relatif. Apa yang sopan bagi orang lain belum tentu sopan bagi kita. Memberikan sesuatu dengan tangan kiri adalah tidak sopan, tetapi bagi orang lain hal itu biasa-biasa saja. Bertemu dengan orang lain (apalagi jika lawan jenis) kemudian berjabat tangan adalah sesuatu yang sopan, tetapi bagi orang lain yang berbeda budaya berjabat tangan saja tidak menunjukkan keakraban, mereka perlu menambahnya dengan cium pipi dan pelukan. Itulah yang sopan bagi mereka. Bagi beberapa orang yang lain mengucapkan salam dengan merangkapkan kedua tangan di dada adalah yang sopan. Jadi mana yang sopan ?

Kita (sebagai bangsa) selama ini cenderung mengadopsi bagaimana cara orang luar dalam berinteraksi. Tetapi kita sendiri tidak membentuk sendiri cara kita (original style bahasa sononya) bagaimana seharusnya dalam berinteraksi. Ketika ada yang menampilkan “sesuatu yang lain”, kita lalu berteriak : “Itu tidak sopan”. Sementara kita tidak punya ciri khas sendiri yang bisa dikategorikan sopan.

Satu hal lain yang saya amati dari Tukul dan Empat Mata-nya adalah kemampuan berbahasa Inggris

(setidaknya pengucapan suatu kata/kalimat dalam bahasa Inggris). Pengucapan Tukul selalu memancing tawa penonton karena terkesan “tidak beres”. Entah pengucapannya yang salah, atau juga pengucapannya betul tetapi dengan aksen dan logat “berbeda”. Maaf, saya tidak ingin menyinggung suku tertentu.

Apa artinya itu ? Saya melihatnya sebagai kegamangan kita dalam beridentitas, khususnya kegamangan berbahasa. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa segala sesuatu dipandangan “indah dan berkelas” jika menggunakan bahasa asing dan dipandang “jelek dan murahan” jika menggunakan bahasa Indonesia. Rasanya keren abiiissss jika bisa bicara dicampur-campur dengan bahasa Inggris (atau Perancis dan Jerman sekalian), tetapi menjadi kuno dan jadul kalau menggunakan bahasa Indonesia dicampur bahasa daerah.

Padahal bahasa Inggris bukanlah bahasa kedua di negeri ini. Bahasa pertama menurut saya malah bahasa daerah baru setelah itu bahasa Indonesia. Apa yang salah dengan bahasa Indonesia jika kita menggunakan kata-kata seperti unduh, sangkil, dan mangkus dalam berbicara ? Apakah kita lalu menjadi cool dan sophisticated kalau menggunakan kata-kata seperti Residence, Log Off, dan Plaza ?

Keterpelesetan Tukul dalam berbahasa juga menjadi ciri khas kita dalam berbahasa. Sementara kemampuan bahasa kita masih pas-pasan, kita sudah kemana-mana menonjolkan diri bahwa kita bisa berbahasa asing. Kita tidak bangga memakai bahasa sendiri (Indonesia). Bagi kita, bahasa Indonesia itu tidak canggih dan terkesan kuno. Itulah yang membuat kita gamang dalam memiliki identitas, khususnya identitas berbahasa.

==================================

Ruang publik yang disodorkan Habermas bukanlah sebuah ruang publik yang rigid yang hanya boleh berisi ide-ide “mencerahkan” dan “mendidik” dari negara dan kaum intelektualis. Dia juga berisi ide-ide konyol dan penuh humor yang secara bebas dan tanpa tekanan dapat disampaikan oleh setiap warga negara. Ruang publik, sekali lagi, bukanlah sebuah arena dengan pertunjukan interpretasi tertentu, termasuk interpretasi terhadap sebuah humor yang dibawakan secara “kacau”. Jika ruang publik hanya seperti itu, maka diri kita menjadi kering dari emosi dan tanpa nuansa. Tukul tidak sedang mendangkalkan ruang publik, dia memberikan alternatif lain bagi masyarakat bagaimana menyikapi sebuah ruang publik.

Tukul tidak sedang berkotbah atas suatu ideologi di ruang itu. Dia hanya menampilkan sisi lain bangsa ini yang secara kasat mata memang ada tetapi ditiadakan. Jadi jika anda tidak suka menonton Empat Mata, janganlah tonton jika itu hanya akan membuat pikiran anda terhalang. Tetapi biarkan orang berekspresi dengan “selera humor”-nya sendiri (karena selera humor tiap orang berbeda-beda) sebelum humor benar-benar dilarang di negeri ini. Demikian juga dengan goyangan nge-bor ala Inul Daratista. Inul menggambarkan apa yang terpendam dalam ketidaksadaran bangsa ini.

Wajah Tukul dan Pantat Inul adalah Wajah Kita sebagai bangsa. Itulah salah satu ciri kita. Mengapa harus malu untuk mengakuinya ?

Ada persepsi lain ?

Source : http://fertobhades.wordpress.com/2007/03/20/wajah-tukul-dan-pantat-inul/

1 comment:

Anonymous said...

http://markonzo.edu Incredible site!, ashley furniture [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536072]ashley furniture[/url], jgcafp, allegiant air [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536075]allegiant air[/url], cqjusbt, pressure washers [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536078]pressure washers[/url], gjcoqga, dishnetwork [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536080]dishnetwork[/url], olckj, adt security [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536076]adt security[/url], qgded,