''Mas Tukul Wong Ndeso''

Orang mengenal Tukul Arwana dengan gaya dan ucapannya yang khas. ''Re..Re..Renaldy,'' ucapnya sambil menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang menjumput di depan mulutnya. Selain itu, ia juga sering menggerakkan tangannya seperti menyisir rambut di dua sisi kepalanya, ketika memperkenalkan dirinya sebagai cover boy. Atau itu, itu, tepuk tangan ala tepuk tangan monyet.

Kini, orang semakin mengenal dia karena ucapannya yang khas pula. ''Kita kembali ke laptop.'' Atau jawaban khasnya ketika diledek dipanggung. ''Puas-puas.'' Tukul kini menjadi host acara Empat Mata di sebuah televisi swasta. Acara yang mendapatkan jumlah pemirsa dan slot iklan yang cukup banyak. Selain membawakan acara Empat Mata, ia juga membawakan acara Catatan Harian Tukul. Ia juga tampil di Ketawa Sore. Di saat ia dirias untuk siaran Empat Mata, Rabu malam (10/1), Tukul melayani pertanyaan-pertanyaan Burhanuddin Bela dari Republika.

Kini banyak orang menyenangi program Empat Mata. Anda merasa begitu?
Orang-orang bilangnya gitu. Kalau saya, kayak-nya biasa-biasa saja. Bercandanya, kayak bercanda waktu saya melawak-melawak dulu. Mungkin ini lebih fokus, saya lebih dominan, jadi orang memperhatikan. Orang-orang bilang begitu, bangus banget.

Bagaimana awalnya Anda jadi host acara ini?
Awalnya, saya kan syuting Warung Pojok di TV7. Terus ada manajer produksinya, waktu itu Mr Apollo, orang Filipina. Dia ngamati saya terus. Amati permainan saya, bicara saya, gerak-gerik saya. Itu diamati terus beberapa episode, terus dia ngajak ngobrol empat mata. Saya mau dikasih, itu tadi, bawa host acara di talk show itu. Saya bilang, saya spesialisasinya lawak, kalau begitu saya tidak bisa. Kenapa tidak cari yang lebih spesialisasi di host, yang wawasannya luas, intelektualnya tinggi, yang pendidikannya wah, sudah, punya titel banyak. ''Tidak. Itu sudah umum, sudah wajar. Kalau kamu saya lihat, punya talenta, kamu itu cerdas. Kamu itu seperti Larry King,'' katanya ha ha. ''Kamu diam kalau diajak diskusi, kayak-nya tidak memperhatikan, tapi begitu tik, kamu kayak-nya lebih improvisasi, lebih menghidupkan suasana. Aku yakin, gitu.''

Anda sempat merasa tidak yakin dengan kemampuan sendiri?
Ya, sempat. Ini bagian programming, tidak percaya. Terus akhirnya, Mr Apollo bilang, `'Maunya apa?'' Maunya saya minta contoh dulu. Di-bikinin, ya udah, di-bikinin dua episode. Ternyata, akhirnya oke. `'Bagus, bagus. Boleh, boleh.'' Akhirnya langsung 13 (episode), 26, terus 26 lagi, terus 39, tambah lagi sekarang 260 episode.

Apa pertimbangan Anda waktu itu enggan menerima tawaran?
Saya bilang, gimana. Saya tolong dibantu dengan tim kreatif. Nanti ditransferi melalui laptop aja pertanyaannya. Kalau tidak, kayak-nya seolah-olah saya cerdas. Padahal di situ karakter saya, ya nakal, genit, lucu, dan sok pintar.

Jadi ide menggunakan laptop itu dari Anda?
Ya, dari saya.

Bagaimana dengan kalimat `kembali ke laptop' yang sering Anda ucapkan?
Kan waktu saya melawak, biasanya, kalau sudah ngelantur, teman-teman bilang, `'Ayo kembali ke benang merah.'' Maksudnya, kembali ke cerita. Di sini, kalau sudah waktunya mau break atau waktunya mau iklan, ya saya mesti, `'Oke-oke, kembali ke laptop.'' Kalau sudah ngelantur, ayo, kembali ke laptop. Ternyata penjualan laptop sekarang meningkat gara-gara saya. Anak-anak kecil juga begitu sekarang, `'Ma, beliin laptop dong.''

Anda merasakan ini fenomenal?
Luar biasa. Benar-benar fenomenal sekali ha ha.

Di situ Anda digambarkan sebagai orang lugu dan tidak cerdas. Apakah memang diarahkan seperti itu?
Memang saya itu tidak pintar ha ha. Saya biasa-biasa saja. Cuma karena saya sering membaca buku, baca koran. Saya itu apa saja saya baca. Saya senang. Dan saya kalau ngobrol sama orang, saya ambil ilmunya yang bagus, yang jelek saya tidak ambil. Dan saya ngobrol sama siapa aja, saya nggak milih-milih. Orang bawah, orang atas, orang menengah, itu orang kutu kupret, culun, katro, apa itu profesor, jenderal. Tapi, kalau itu bagus, tak ambil.

Salah satu episode acara Anda sempat dihadirkan teman Anda waktu masih susah, Joko Dewo. Sampai sekarang masih sering bertemu mereka?
Mas Joko itu teman kecil, sudah seperti saudara. Dia yang bawa saya ke Jakarta, yang kasih makan, yang kasih apa-apa saja. Pokoknya, awalnya saya berani ke Jakarta karena dia. Saya di Jakarta tidak punya siapa-siapa. Katanya, kalau di Jakarta bisa ngetop. Tapi, saya tunggu-tunggu sampai bertahun-tahun tidak ngetop-ngetop. Sudah jadi juara tidak ngetop-ngetop. Bingung. Itu lama, 12 tahun. Sampai mereka sudah kawin, kerja, saya tetap konsisten di dunia lawak. Saya hanya celangak-celongok untuk mempertahankan hidup. Mau balik ke Semarang keadaan saudara pada miskin, orang tua miskin, saya nggak punya rumah di Semarang. Akhirnya, mendingan saya susah di Jakarta. Susah di kampung orang pada tahu. Udah, untuk mempertahankan hidup nyopir Pak Alex. Akhirnya dia bantu. Bertahun-tahun saya ikut dia.

Bagaimana bisa melawak kalau jadi sopir?
Kalau aku ada acara seperti casting-casting, saya minta izin. Tapi, dia sempat bilang, tidak mungkin, kamu mungkin hanya dibohongi, di-kasih janji-janji. Tapi saya tetap konsisten terus. Berhasil sendiri, dia kaget, salut.

Perjuangan hidup tak seperti membalik telapak tangan. Tukul Arwana memahami betul kalimat itu. Lahir dan besar dari keluarga yang serba kekurangan, memaksanya harus banting tulang di usia masih muda. Masa sekolah, ia sudah mesti mencari uang di jalanan: menjadi kernet dan sopir angkot.

Ternyata, Tuhan memberinya bakat melucu. Sejak kecil ia sudah menujukkan kebolehannya itu di panggung-panggung acara peringatan Hari Kemerdekaan RI di kampungnya, Perbalan, Semarang. Predikat juara lomba lawak pun telah disandangnya.

Rupanya, predikat juara itu belumlah cukup untuk dijajakan di Jakarta. Tukul mencoba peruntungan di Ibu Kota atas ajakan kerabatnya, Joko Dewo. Tapi, nasib baik belum juga menghampirinya. Apa boleh buat, pria kelahiran Semarang, 16 Oktober 1963, ini terpaksa menggantungkan hidup pada kerabatnya itu.

Mengapa nama Anda Tukul Arwana?
Nama Arwana dikasih Tony. Joko kasih nama mujair, Tukul Mujair, Tukul Julung-julung, Tukul Sapu-sapu. Tony bilang, ''Kamu kasih nama arwana aja, karena arwana kan ikan dipelihara orang kaya, siapa tahu kamu jadi orang kaya. Kumismu kayak orang kaya. Kalau mujair kan mainnya di empang.'' Terus Tony juga mengajari, ''Kamu harus pakai bahasa Indonesia, biar terbiasa, biar dimengerti semua orang.'' Saya masih belepotan bahasa Indonesianya. Saya dari Jawa, jadi untuk ngomong bahasa Indonesia, ada penerjemahnya dulu baru kita keluar. Ada berhentinya sedikit, ada spasinya. Sekarang, karena sudah terlatih, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia.

Nama Thukul dari mana?
Itu dari orang tua. Nama saya kan Riyanto. Dulu, waktu kecil sakit-sakitan, di-kasih nama Thukul. Thukul itu kalau bahasa Indonesianya tumbuh. Artinya, ada Frans Tumbuan, ada Frans Thukulan. Kalau bahasa Inggrisnya growing up, Mr Growing Up, tumbuh dari bawah ke atas.

Mengapa Anda suka menyebut diri cover boy?
Itu idenya dari saya sendiri. Orang kan harus kontradiksi (maksudnya kontradiktif). Lawak, menurut saya, harus kontradiksi. Putih jadi hitam, hitam jadi putih. Dan kita harus memutarbalikkan logika. Jadi, kalau saya mengaku cover boy, kayak-nya tidak pantas sekali. wong daftar aja mungkin didis ha ha. Diskriminatif sekali kan? Makanya saya bilang cover boy dari majalah Sobek. Daripada disebut under cover, diinjak-injak ha ha ha. Dan saya selalu menyebut nama Renaldy. Kan tidak cocok tampang saya namanya Renaldy. Renaldy itu paling tidak kulitnya putih, matanya biru.

Bukan karena Anda mengagumi artis Renaldy?
Tidak, saya cuma cari. Itu tadi, kontradiksi-kontradiksi. Tidak ada ceritanya, diciptakan sendiri. Tampang seperti saya nama Renaldy kan tidak pantas.

Siapa yang memperkenalkan Anda dengan dunia panggung?
Ya itu, Joko, Tony, Totok Prawoto, ya Harry de Fretes, banyaklah.

Kalau Joko kan kenalan dari kampung. Bagaimana Anda bisa berkenalan dengan yang lainnya?
Saya baca buku bahwa kalau satu hari nambah teman satu, itu luar biasa. Satu musuh kebanyakan, seribu kawan kurang. Jadi, kalau kita semakin banyak kawan berarti membuka lapangan pekerjaan. Lebih memungkinkan dari pada teman sedikit, menyempit lapangan pekerjaan. Akhirnya mengakar kan, saya tambah kawan, informasi tambah banyak.

Saya bergaul sama orang, memperkenalkan diri. Tak kenal maka tak sayang kan?
Pengejaan bahasa Inggris Anda kacau. Tapi, Anda selalu melakukannya. Misalnya, menyebut fish to fish untuk mengatakan


face to face. Kesalahan itu belakangan terus berulang, apa disengaja?
Sengaja. Saya kan kalau menyebut bahasa Inggris kadang-kadang belepotan. `'Udah, sekalian aja itu Mas. Itu malah jadi ciri khas.''

Anda masih sering makan di Blok S, seperti sebelum terkenal dulu?
Ya, warung-warung yang selalu saya utangi suka saya datangi. Sering jajan di situ. Kok masih mau? Ya, mau, memang kenapa. Sama saja. Wong gulanya orang miskin juga manis, garamnya orang kaya ya asam.

Kabarnya masih ada utang Anda di warung-warung makan Blok S?
Dulu. Sekarang sudah lunas semua. Malah ada yang pernah lupa, ''Mas Thukul, maaf kurang Rp 30 (ribu) yang dulu.'' Ya, terima kasih Bu di-ingatin. Wah, orangnya baik.

Apa benar Anda tidak bisa mengoperasikan laptop? Tidak bisa. Saya, laptop nggak paham, komputer nggak paham. HP aja tidak semuanya. Makanya, kalau (komputer) mati, saya mesti manggil Tia, dia kan operatornya. Tapi, kalau saya belajar, mungkin bisa melebihi orang-orang itu, malah ha ha.

Bagaimana jika ada tamu yang jahil, mematikan laptop?
Saya panggil aja tim kreatifnya, `'Tolong betulin.''

Kalau laptopnya diambil atau ditutup?
Ya, bingung. Saya bilang, kamu itu bikin bingung saya aja. Sekarang pertanyaan bikinan saya sendiri. Tak cari pertanyaan yang mudah-mudah aja ha ha ha. (Sebagai cadangan, kini Tukul juga dibekali PDA (persoal data assistant).

Sering pulang ke Semarang, bagaimana komentar di kampung?
Wah, terpukau. Luar biasa. Kayak-nya, tidak mungkin.

Tukul apa?
Wong dulu itu di sini sopir angkot.

Memang Anda pernah sopir angkot?
Loh, saya sopir angkot dulu, kernet angkot di Semarang. Sebelum SMA juga saya ngernet. Keluarga blok minus saya.

Kondisi itu yang membuat Anda tidak bisa sekolah tinggi?
Dulu, iya, pengin. Cita-cita saya dulu pengen jadi insinyur. Pengin kuliah tapi keadaan tidak mampu, ya sudah. Tapi tidak apa-apalah, walaupun tidak sampai S-1, S-2, tapi honor saya bisa melebihi S-2, S-3 sekarang, alhamdulillah.

Anda dulu sering naik motor. Sekarang?
Masih sering. Kadang-kadang bawa sendiri, kadang-kadang dibonceng. Ya, tergantung hati saya. Pengin naik motor, naik motor. Pengin naik mobil, naik mobil. Pengen naik Harley, naik Harley. Tinggal kepengin saya. Pengin santai, santai. Tidak harus kayak eksekutif, tidak harus selalu glamour. Saya tidak suka keglamouran, saya tidak suka ke dunia malam, saya tidak suka dunia karaoke atau apalah.

Merokok?
Merokok jarang, minum nggak. Dunia yang itu, saya nggak. Saya pengin-nya di rumah, santai, ngobrol. Itu senang.

Kalau sekarang Anda ketemu orang di jalan bagaimana?
`'Mas Tukul, apa kabar? Mas Tukul Empat Mata. Kembali ke laptop. Foto dong mas Tukul?'' `'Mas Tukul wong ndeso (orang desa).''

Tidak keberatan disebut wong ndeso?
Tidak masalah. Tapi, berpikirnya kan tidak daerah. Berpikirnya, milenia, wuah. Saya orangnya fighting spirit, saya positive thinking, dan saya tidak pernah merendahkan orang, mengecilkan orang. Saya selalu membesarkan (hati) orang lain, menghormati orang lain. Kesombongan itu akan menjadi bumerang bagi diri sendiri, akan memakan dirimu sendiri. Tidak boleh.

Tukul Diledek di Televisi, Anaknya Pernah Tersinggung

Butuh waktu 12 tahun agar Tukul diakui di panggung hiburan. Memerlukan perjuangan yang gigih. ''Walaupun kita bilang mampu, tetap susah untuk masuk ke atmosfir situ. Memang benar-benar susah,'' ujar Tukul.

Anak ketiga dari empat bersaudara --yang menurutnya tak ada yang kaya itumengaku sering ditolak, diremehkan, dianggap sebelah mata. ''Dianggap tidak bisa ngomong, vakum, statis, tak terima aja,'' ujar Tukul yang mengaku mendapat istri yang mengerti keadaan dirinya saat itu yang susah.

Tukul tak merasa sakit hati ketika mendapat perlakuan seperti itu. Ia menerimanya dengan ikhlas, karena ia memahami jika ikhlas, balasannya akan besar, derajat dirinya akan dinaikkan. Sedangkan orang yang meremehkannya, menurut keyakinannya, justru akan menjadi orang kecil. ''Karena dia sudah memantulkan energinya itu,'' ujar dia.

Ejekan yang sering ia terima justru menjadi bekal Tukul. Ia menjadi pintar berkelit. Saat tampil di panggung, ia juga sering diejek lawan-lawan mainnya, sebagai bahan canda. Bahkan, surat-surat kiriman dari pemirsa Empat Mata pun sering menyelipkan ejekan buat dirinya, dalam bahasa canda. Saat ejekan memuncak itulah, keluar kalimat pamungkas Tukul, ''Puas-puas.'' Lantas tersenyum dan bertepuk tangan ala tepuk tangan monyet.

Tukul ikhlas, tapi tidak dengan anaknya, yang kini berusia 8 tahun, Novita Eka Afriana. . Melihat ayahnya sering diledek saat tampil di televisi, menurut Tukul, Novita yang kini siswa SD Muhammadiyah, Gandaria, Jakarta Selatan, itu tak terima. Ia memprotesnya. ''Di rumah, TV-nya ditunjuk-tunjuk, 'Ini apa, apa ini'.'' ujar Tukul.

Ternyata, Novita tersinggung. ''Tapi, tak bimbing. Kalau ayah nggak di TV, nggak berani, ayah marah. Jadi tidak apa-apa. Akhirnya sekarang memahami,'' ujar dia. Kini, Tukul mengaku telah meraih sukses. ''Punya nama, sudah dikenal. Rumah, sudah. Anak istri senang, sudah. Saya juga bersyukur kepada Allah SWT. Saya sekarang, wah, tinggal memberikan ilmu kepada semua orang kalau pengen belajar,'' tutur dia.

Memberikan ilmu kepada orang lain, itu adalah bagian prinsip hidup Tukul. memberikan ilmu, ia yakini justru akan membukakan rezeki. ''Kalau kamu memudahkan pintu rejeki orang lain, maka pintu rejeki-mu juga akan dimudahkan,'' ujar dia. Maka, di rumahnya, ia mengumpulkan orang-orang yang ingin berhasil. ''Anak-anak muda yang kepengin jadi orang sukses, anak-anak yang pengin jadi artis, tak bimbing,'' ujar pria beristrikan Susiana, asal Padang itu.

Di rumahnya itulah, ia bercanda dan tukar pengalaman dengan anak-anak muda itu. Mereka berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Ambarawa, Solo, Semarang. ''Mereka datang, pengin belajar, pengin seperti saya. Tak kasih pandangan-pandangan. Jadi artis itu tidak mudah, jadi orang sukses itu tidak gampang. Perlu ketekunan, perlu pembelajaran yang butuh waktu, tidak seperti membalik telapak tangan atau kayak tukang sulap. Ke Jakarta dua bulan kaya, pulang bawa mobil pamer ke tetangga. Tidak mungkin. Harus makan waktu. Kalau kamu tidak bertahan, istilahnya, tidak akan jadi,'' tutur dia.

1 comment:

Anonymous said...

tukul-empatmata.blogspot.com is very informative. The article is very professionally written. I enjoy reading tukul-empatmata.blogspot.com every day.
payday loans toronto
payday loans online