Walau Cidera, Ngelawak Jalan Terus

Alamaak, melihat tampangnya saja, pasti Wong Ndeso jadi pengen ketawa ngakak nihh.... Coba kita tengok mimik wajahnya, polos, sok jujur, culun, menggelikan, wahh lengkap deh.... Seperti itulah sang pelawak Tukul Arwana menunjukkan sosoknya sebagai seorang penghibur.

Laki-laki sederhana yang lahir di Semarang, 16 Oktober 1963 ini memang mempunyai darah lawak yang alami sejak kecil. Menurut cerita yang digulirkannya Kamis (8/12), komedian jebolan “Srimulat” ini mengaku telah terbiasa melawak di depan saudara-saudaranya di rumah. Konon, sifat ngeyelnya ini merupakan hasil didikan sang ayah yang doyan melontarkan humor-humor lucu tatkala ia sedang berantem dengan kakaknya.

Meskipun sudah tersohor di kancah lawak, ia mengaku ogah mengganti namanya. Seperti apakah masa kecilnya? Olala, ternyata tak jauh dari profesinya sekarang. Waktu kecil, darah lawaknya memang kerap dipamerkan kepada banyak orang. Yuk ah simak langsung penuturannya....

**

SEJAK kecil suasana rumahku memang tak jauh dari canda serta seloroh semua anggota keluargaku. Ehmm, boleh dibilang, bakat mengocok perut orang ini, kudapati dari ayahku yang asli keturunan Jawa. Pokoknya, kalau aku dan adikku ribut-ribut sedikit, pasti ujungnya diakhiri dengan canda nakal dan gelak tawa. Tak lain, jurus melawak inilah yang dilancarkan ayahku untuk menghangatkan suasana.

Di Perbalan Purwosari Semarang, aku menghabiskan masa kanak-kanak dengan ceria. Sekira tahun 70-an, ketika aku masih duduk di bangku SD Perbalan Purwosari, aku pun sudah aktif melawak di setiap kesempatan perhelatan desa. Tapi waktu dulu tuh tujuannya bukan cari duit lho.... yaa boleh dibilang hanya doyan ngelucu.

Tak beda dengan di rumah, di sekolah pun aku sama isengnya nih.... Tak jarang, aku kena hukum guru gara-gara sifatku yang suka ngeyel dan nggak pernah serius. Kalau ibu guru lagi mengajar, aku tuh suka jahil menirukan gerak-geriknya dengan gaya yang nakal dan menjengkelkan.

Huuh, tak jarang deh, aku pun dihadiahi banyak hukuman. Disentil, dijewer, angkat kaki sebelah, bersihin kamar mandi sekolah, wah macem-macem deeh. Anehnya, aku tuh nggak pernah merasa kapok. Hehe.... nakal ya si Tukul....

Waktu dulu, kakak-kakak senior di kepramukaan sering ngomel karena aku dinilai nggak pernah kompak jika dibuat menjadi satu regu. Ketika barisan reguku sudah rapi, eh eh.... aku suka iseng mengacaukannya.

Namun, di saat kegiatan berkemah, api unggun atau aktivitas kebersamaan, nah.... ini dia, aku justru wajib tampil melawak di depan mereka. Dengan berbagai tingkah yang urakan dan menggelikan, aku pun selalu sanggup membuat acara jadi meriah.

Sejak kecil aku memang sudah terbiasa menebar komedi di antara penonton. Sebelum aku masuk panggung Srimulat di usia remaja, kegiatan melawak keliling kampung merupakan bagian dari cerita masa kecilku dulu. Bahkan pada saat acara 17 Agustusan pun, aku sering naik pentas untuk menghibur orang-orang di kampung.

Satu cerita menyedihkan sekaligus lucu pun tergores manis dalam kenangan masa kecilku. Ceritanya, menjelang perayaan 17 Agustus, anak-anak di kampung memang sudah menyusun acara untuk menampilkan pementasan lawak bocah cilik. Kebetulan, aku ditunjuk sebagai pengisi acara karena di kampungku aku memang dikenal sebagai anak kecil yang paling pandai memancing tawa.

Tak dinyana, sehari sebelum acara dilaksanakan, aku terkena musibah jatuh dari pohon hingga tangan kananku mengalami patah tulang. Berhubung acara sudah dipersiapkan dari jauh hari, keesokan harinya aku tetap tampil melawak dalam keadaan tangan digendong sebelah. Oala.... untungnya para penonton sukses ketawa-ketiwi menyaksikan lawakanku. Huh, padahal nih, waktu itu badanku lagi panas dingin nggak karuan akibat tulangku yang patah itu.

No comments: