Tukul Arwana Di Mata Keluarga dan Orang Terdekat (2-Habis)

Hobi Cium Bintang Tamu Diprotes Anak

HIDUP itu mengalir. Itulah yang diyakini Tukul Arwana. Saat pertama menginjakkan kaki di ibu kota pada 1989, Tukul tak punya bayangan mau bekerja apa. Karena itu, dia ikhlas menjalani pekerjaan apa saja di Jakarta. Dari tukang gali sumur pompa, MC acara di kampung, sampai sopir pribadi.
Pada 1995, ketika usianya 32 tahun, Tukul masih jauh dari kehidupan mapan. Saat itu dia memberanikan diri meminang gadis berdarah Padang, Susiana, 26, yang tak sengaja dijumpai di sebuah hajatan pernikahan seorang kawan. Pada tahun yang sama dengan pernikahannya itu pula, Tukul memulai debut sebagai entertainer di Jakarta. Dia diterima sebagai penyiar Radio Suara Kejayaan.
“Gaji saya di radio waktu itu Rp 75 ribu per bulan. Padahal, kontrakan rumah saya sebulan Rp 150 ribu. Sisanya, saya cari dengan kerja serabutan atau cari utangan dari teman,” kata Tukul kepada Jawa Pos.




Namun, roda kehidupan memang selalu berputar. Kini kehidupan Tukul sudah sangat berbeda. Di rumah seluas sekitar 200 meter persegi berlantai dua di Jalan Sawo Ujung, Cipete Utara, Jakarta Selatan, Tukul hidup berkecukupan ditemani istri dan putri semata wayangnya, Novita Eka Afriana, 7.

Persis di samping kanan rumah bercat putih itu, berdiri tiga petak rumah kontrakan yang dikelola Tukul. Sedangkan di mulut gang menuju rumahnya, Tukul memiliki satu unit rumah lagi yang diberi nama Posko Ojo Lali.

Di posko itulah, teman-temannya sesama seniman tinggal. Di garasi posko terparkir Toyota Kijang Innova dan motor Harley Davidson yang disayanginya. Selain itu, sebuah sedan Mitsubishi Galant keluaran 1983, mobil pertama yang dibeli Tukul, masih terparkir di depan posko.

Empat Mata seakan telah mengubah status sosial Tukul. Tapi, menurut orang-orang terdekatnya, tidak ada yang berubah dari pria yang kerap dijuluki lele dumbo karena kumis tipisnya itu.

“Mas Tukul tetap suami dan ayah yang baik bagi anak saya,” kata sang istri, Susiana. Ketika jadwal kegiatannya di luar makin padat, Tukul justru bertambah sayang kepada keluarganya di rumah. “Alhamdulillah, sekarang Mas Tukul malah tambah sabar,” kata Susiana yang rambut selehernya dicat kemerahan itu.

Sebagai pelawak, Tukul dikenal sebagai sosok yang sulit serius dan selalu melontarkan lelucon-lelucon yang bisa mengundang tawa lawan bicaranya. Tapi, tidak demikian halnya saat dia di rumah.

Menurut Susiana, di luar pekerjaannya, Tukul merupakan sosok ayah yang tegas dan selalu menekankan disiplin di lingkungan keluarga. “Ngebanyol sering. Tapi, ada waktunya. Dalam mendidik anak, dia tegas sekali. Misalnya soal waktu belajar, waktu tidur siang, dan sekolah,” paparnya.

Hampir pada setiap penampilan sebagai host di Empat Mata, Tukul sering mencium pipi kanan-kiri dan bersikap mesra dengan bintang tamunya yang cantik.

“Pertama saya kaget. Bahkan, Vita (panggilan anaknya, Novita Eka Afriana) duluan yang marah. ’Kok ayah digituin sih’ katanya. Setelah itu, saya baru ngomong langsung sama Mas Tukul,” ujar Susiana.

Protes Susiana dan putrinya tidak berbuntut panjang. Setelah diberi pengertian, akhirnya mereka bisa memahami apa yang dikerjakan Tukul. “Mas Tukul ngasih pengertian. Saya pikir-pikir lagi, ternyata memang harus begitu. Itu bagian tugasnya sebagai penghibur. Sampai sekarang, saya tidak punya pikiran cemburu atau negatif lagi,” katanya.

Sejak awal pernikahan mereka hingga sekarang, Tukul selalu membicarakan masalah pekerjaan dengan istri. Jika Susiana tidak berkenan, Tukul tak segan menolak tawaran kerja yang menghampirinya. “Mas Tukul selalu mengutamakan saya. Kalau ada apa-apa, dia pasti minta pendapat saya,” ujarnya.

Melayani suami macam Tukul, lanjut Susiana, sama sekali tidak sulit. Misalnya dari segi makanan. Tukul tidak pernah minta disuguhi hidangan yang aneh-aneh. Bisa dikatakan, hampir setiap hari yang tersedia di meja makan rumahnya adalah menu makanan kampung.

“Mas Tukul makannya gampang. Dia paling senang dibuatkan oseng kangkung, oseng kacang panjang, urap, telur mata sapi, tempe goreng, bakwan jagung, dan mi instan,” papar Susiana.

Senang makanan biasa itu bukan karena ngirit. Menurut Susiana, jika dia memasak makanan mahal pun, jarang disentuh Tukul. “Sekali-sekali saya buatkan rendang atau ayam bakar. Hari itu dimakan. Tapi, besoknya pasti dia pilih jajan makanan yang biasa-biasa tadi,” kata Susiana.

Kesan sederhana juga dirasakan orang terdekat Tukul lainnya. Teguh, misalnya. Dia salah seorang teman dekat Tukul yang saat ini menangani segala keperluannya. Mulai menerima telepon, mengatur jadwal, mengoordinasi wartawan yang ingin wawancara, hingga negosiasi harga dengan calon klien. “Saya bukan manajer. Saya hanya teman yang membantu Mas Tukul,” ucapnya.

Sejak sama-sama menetap di rumah kos berukuran 2 x 3 meter awal tahun pada 1990-an, kata Teguh, Tukul tetap sosok teman yang apa adanya. Satu hal yang paling mencolok dari Tukul adalah kemauan untuk terus berusaha dan belajar.

“Bisa dibilang Mas Tukul itu paling semangat kalau dengar ada kerjaan. Apa saja pasti dia kerjakan,” kata Teguh. Karena kedekatannya itu, Tukul sudah tak sungkan lagi membagi pengalaman dan kesulitannya pada Teguh.

Dengan apa yang dimilikinya saat ini, Tukul tak pernah lupa berbagi dengan teman-temannya. Termasuk mereka yang menetap di Posko Ojo Lali. Beberapa tahun lalu Tukul sengaja membeli empat unit sepeda motor untuk digunakan teman-temannya mencari uang dengan mengojek.

Setiap syuting Empat Mata atau acara lainnya, Tukul selalu mengajak teman-teman, yang disebutnya sebagai tim sukses, untuk menonton. Sekali syuting, tak kurang dari 20 orang menemaninya. “Mereka bertugas memancing orang tertawa. Kalau ada penonton yang ketawa, pasti penonton yang lain ikut terbawa,” kata Teguh.

Sukses yang diraih Tukul saat ini ternyata sudah diduga Alex Sukamto, mantan majikan Tukul saat menjadi sopir pribadi. Menurut Alex, dia pernah dibuat kaget oleh Tukul saat mengetahui mantan anak buahnya itu punya hobi membaca.

“Setiap gajian, dia selalu menyisakan uang untuk beli buku. Saya nggak sangka, sopir kok punya hobi baca buku. Sudah gitu, buku-bukunya itu yang saya sendiri nggak ngerti. Ada yang tentang psikologi, politik, macam-macamlah,” cerita Alex.

Dari situlah, pria yang berdomisili di Pondok Cabe, Jakarta Selatan, itu mengetahui bahwa profesi yang dijalani Tukul saat itu hanya batu loncatan menuju cita-citanya yang lebih tinggi.

“Kemauan belajarnya tinggi sekali. Dia cerita ke saya, sebenarnya dia pengin sekali jadi pelawak terkenal. Dia jadi sopir hanya untuk mencukupi kebutuhan sementara,” ujarnya.

Di mata Alex, Tukul merupakan seorang perantau yang rajin dan sangat menjunjung tinggi kerja keras serta kejujuran. Terbukti, selama tiga tahun bekerja padanya, Alex tidak sedikit pun pernah dikecewakan.

Justru kemampuan Tukul dalam mengocok perut orang membuat Alex kerasan disopiri Tukul. “Sambil menyetir, biasanya kami ngobrol. Nah, di tengah obrolan itulah, dia sering melawak. Jadi, sepanjang jalan, saya ketawa terus,” kenangnya.

Hingga kini, Tukul masih sering berkomunikasi dengan mantan majikannya itu. Malah, dalam waktu dekat, Tukul akan bekerja sama dengan Alex membuka rumah makan. “Nama rumah makannya ikan bakar Tukul Arwana,” katanya. (rie)

ARI KURNIAWAN, Jakarta
Sumber : http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=8178

No comments: