Menkominfo Lebih Suka Tukul

“Republik Mimpi” Diancam Somasi, Menkominfo Lebih suka Tukul

Jakarta-Surya

Acara "Republik Mimpi" yang ditayangkan
Metro TV setiap Minggu malam pukul 21.30 WIB-23.00 WIB membuat kesal Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Djalil.
Dia mengancam akan melayangkan somasi terhadap acara parodi politik yang menirukan
presiden dan mantan presiden itu.

Menteri menilai, tayangan itu sangat berpotensi merusak pemikiran masyarakat Indonesia, karena secara filosofis tayangan itu sangat buruk. Apalagi, masyarakat Indonesia dianggap belum punya edukatif yang bagus untuk menerima tayangan seperti itu.
Beda dengan Amerika dimana tayangan serupa mendapat perhatian masyarakat setempat karena demokrasi telah berjalan 200-an tahun.



"Kalau presiden dilegitimasi dan diolok-olok, mau dibawa kemana negeri ini. Otoritas kepala negara bahkan sampai kepala desa harus dihormati. Lagi pula presiden juga diangkat sebagai simbol kebangsaan dan figur seluruh masyarakat Indonesia," tegas Sofwan Djalil, Kamis (1/3).

Sebelum somasi, menteri mengaku akan pelajari dulu secara mendalam tayangan itu. Apakah bagus ke masyarakat atau tidak. "Kalau memungkinkan saya akan melayangkan somasi," terang dia.
Sofyan mengkritik pencetus acara ini Effendi Ghozali yang dianggapnya tidak memberikan pendidikan politik yang bagus kepada masyarakat.
"Pak Effendi saya katakan, beri pendidikan ke bangsa yang baik bukan sesuatu yang rusak tatanan masyarakat. Itu yang saya lihat. Makanya beliau tidak jadi ilmuwan tapi jadi tokoh joker (pelawak)," kritik menteri.

Secara berkelakar, menteri mengaku lebih suka penampilan Tukul Arwana dalam acara "Empat Mata" yang tayang Trans7 ketimbang "Republik Mimpi". "Tukul juga lucu tapi bagus sekali," aku menteri asal Aceh ini.

Diuraikan, bukan presidennya yang minta dihormati melainkan lembaga kepresidenan tempat presiden bernaung yang harusnya dihargai. ia memberi contoh Kerajaan di Thailand menjadi jangkar bagi budaya masyarakat untuk menghargai pemimpinnya.

"Masyarakat kita masih butuh pedoman dari pemimpin. Kalau pemimpinnya diolok-olok apakah itu bagus ke masyarakat. Juga kita tahu masyarakat kita paternalistik tidak semua mau menerima tayangan seperti itu," bebernya.
Meski protes namun kementerian yang dipimpinnya tak punya hak menghentikan tayangan tersebut.
"Ini hak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia, red). KPI harusnya bertidak," harapnya.

sumber: http://www.surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=2970&Itemid=30

No comments: