Puas, Puas, Puas?

"Puas, puas, puas?" Inilah salah satu ciri pertanyaan Tukul, selesai memperolok diri ataupun diperolok tamu-tamu program "Empat Mata". Bisa diduga, pertanyaan tersebut disambut dengan teriakan yang riuh rendah, mengiringi gerakan Tukul yang penuh olok-olok terhadap tubuhnya sendiri, entah berjoget ala topeng monyet atau ala seekor anjing.

Yang harus dicatat, kata "Puas" dan ungkapan-ungkapan Tukul lainnya, seperti "kutukupret" hingga "tak sobek-sobek mulutmu", justru menjadi ruang pertalian akrab dengan masyarakat Indonesia. Sosok masyarakat yang kini tumbuh menjadi masyarakat televisi, yang dipenuhi berita berbagai bentuk krisis, bencana, penyakit, musibah kecelakaan dan anomali nilai-nilai pascareformasi.

Oleh karena itu, sangat menarik memberi catatan sendiri terhadap fenomena Tukul dalam perspektif budaya populer.

Antagonis kultural

Kebudayaan populer, seperti yang ditulis Adorno, senantiasa melahirkan berbagai bentuk kepopuleran yang penuh antagonis kultural. Sebutlah di televisi, di satu sisi melahirkan ikon glamor, ikon kegantengan, hingga ikon kecantikan. Di sisi lain, melahirkan ikon wajah ndeso, ikon sensualitas, hingga ikon kebugaran, maupun kebrutalan. Hal ini bisa dilihat dari konfigurasi tamu yang diundang di Empat Mata, dari Basuki, penjual koran, hingga personel Gigi.


Tukul adalah ikon dari ketertindasan. Ia adalah antagonis dari berbagai bentuk kekuasaan yang serba elite dan glamor yang menghidupi televisi. Inilah dunia wong ndeso. Inilah ikon rakyat jelata yang rela dimaki bersama dan boleh mengolok-olok dengan kata-kata kasar.

Jangan heran, penonton di studio rela memakai kaus bertajuk "Wong Ndeso", jangan heran pula banyak kata yang sering dianggap tabu terlontar dengan rileks dalam bincang-bincang tersebut. Sebutlah, memperolok tubuh gemuk tamunya, memperolok penggunaan bahasa Inggris dan istilah intelektual yang menjadi gaya hidup dunia modern, ataupun olok-olok lewat kuisnya. Contoh kecil, kuis yang menanyakan jumlah tahi lalat Naysila Mirdad yang populer dengan seri sinetron Intan.

Inilah fenomena kebudayaan populer yang menjadikan ukuran–ukuran kewajaran porak poranda. Bisa diduga, fenomena Tukul telah memorakporandakan rumus bincang-bincang yang selama ini muncul di televisi. Host tiba-tiba boleh memperolok penontonnya dan dengan ringan mengambil alih jawaban tamunya sehingga tamunya tak sempat berbicara. Bahkan, ia menyiapkan diri untuk menjadi olok-olokan bersama. Maka, penonton televisi bisa menikmati aksi Tora Sudiro yang melempar kerupuk ke mulut Tukul, yang tubuhnya siap menelan lemparan makanan tuannya bak seekor anjing.

Dunia singgah


Fenomena Tukul lalu menjadi cermin bahwa program televisi yang populer adalah sebuah dunia konstruksi dan dekonstruksi berbagai wujud kehidupan sosial, entah bahasa, tata cara bergaul, seks, religi, politik, dan lain-lain.

Fenomena Tukul dengan program Empat Mata-nya adalah konstruksi kembali dunia sosio-historis ngobrol-ngobrol di warung kopi dalam kultur tradisi lisan. Yang kemudian, mengalami konstruksi ke dalam dunia tradisi lisan baru, yakni dunia tekno kapital visual yang dipenuhi dunia obrolan. Meminjam istilah Roland Barthes, inilah dunia mitologi masyarakat modern alias sastra rakyat hari ini, yang penyebarannya langsung masuk ke ruang-ruang keluarga.

Maka, layaknya dunia ngobrol warung kopi, ia adalah dunia tempat singgah untuk kumpul-kumpul antarteman. Sebuah dunia katarsis, sebuah waktu yang sejenak, untuk melupakan berbagai persoalan hidup, rutinitas, dan tata nilai sehari-hari maupun berbagai bentuk krisis dan bencana serta politik yang tak memberi harapan. Milan Kundera dengan genial menyebutnya sebagai "program lupa".

Dunia Tukul menjadi dunia singgah yang melupakan batas jabatan, cita rasa, profesi, kelas, hingga kesantunan. Inilah dunia antarteman dalam penghormatan yang terbuka, cair, spontan, meski kadang sangat sarkas, sehingga tidak ada masalah untuk saling bersapa dengan menggunakan kata "Katrok" hingga "goblok". Bisa diduga, meski populer, tidak semua pemirsa bisa menerima acara ini.

Alhasil, kalaupun fenomena Tukul sering disebut "absurd", harap mahfum, dunia budaya populer adalah absurditas kultural itu sendiri. Sebuah dunia campur aduk, dari profan hingga kasar, yang tidak perlu tetapi diperlukan, dipuja dan diolok, metropopolis dan ndeso, penuh senyum dan brutal, religius dan munafik, terbuka dan fanatik.

Bukankah ini cermin wajah masyarakat kita sendiri? Puas?

Garin Nugroho Pengamat Komunikasi Budaya

Sumber : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/11/seni/3372817.htm

No comments: