Jalan Keluar Menyiasati Kerumunan Iklan

Sumber: Kompas | 10 Mei 2005



Tiap hari pemirsa disuguhi sekitar 9.000 spot iklan di berbagai stasiun televisi. Agar lebih mengena, kenapa tidak buat sinetron saja seperti merek Roma?

Sekali-kali tanyalah ke pemasang iklan kenapa memilih media televisi untuk beriklan. Satu jawaban yang pasti, media tersebut memiliki jangkauan paling luas. Coba tanya kembali, efektifkah? Jawabannya tentu bisa ya, bisa juga tidak. Efektif, karena seperti alasan di atas bisa menjangkau semua lapisan. Tapi, bagaimana jika tiap hari pemirsa televisi disuguhi ribuan spot iklan dari ratusan merek? Barangkali hanya sedikit yang nyangkut di benak mereka. Belum lagi, tiap kali break, pemirsa lebih suka switch ke stasiun TV lain untuk mengintip acara berbeda. Bisa-bisa, dana yang digelontorkan menguap percuma tanpa hasil.

Fenomena seperti inilah yang menjadi renungan produsen biskuit Roma untuk beriklan di televisi. “Kebayang nggak, berapa stasiun televisi yang ada? Berapa spot iklan sehari? Bayangkan, konsumen dibombardir 9.000 spot sehari. Kalau kita hanya menjadi paritas, maka akan termakan oleh zaman,” kata Yanty Melianty, Marketing Manager Biscuit, PT Mayora Indah Tbk.

Benar juga. Ketimbang cuma mengandalkan iklan spot, kenapa tidak langsung saja diangkat ke sinetron. Yang pasti, kalau dikemas dalam bentuk cerita sinetron, tidak perlu lagi khawatir direcoki atau bersaing dengan iklan lain yang jumlahnya membludak itu. Dengan kemasan sinetron, pemirsa pun bukan melihat iklan, melainkan melihat tontonan. Atas dasar pemikiran itulah, PT Mayora memproduksi sinetron Semua Suka Roma (S2R). Sebuah judul yang langsung mengingatkan pemirsa kepada merek biskuit Roma.

Menurut Yanty, alur cerita dan karakter para talent S2R disesuaikan dengan value merek. Dalam hal ini, kisahnya berfokus pada seorang calon ibu yang cerdas, matang dan peduli lingkungan—sesuai dengan karakter merek Roma yang keibuan. Sebagai sinetron yang mengusung sebuah merek, seluruh produksi melibatkan sang produsen. Mulai dari naskah cerita, kostum pemain, dan pemilihan talent, pihak Roma ikut terlibat. Boleh jadi, PT Mayora harus ketat, karena sinetron ini mengusung nama besar brand Roma. Salah sedikit saja bisa menjadi blunder.

Sang tokoh utama, Ine Dewi, yang memerankan tokoh Roma diplot sebagai figur yang bisa membawakan persepsi merek Roma, yaitu seorang gadis yang smart (mahasiswi) dan mature. Sinetron ini juga didukung oleh Tukul Arwana (Pak Roma) dan Yurike Prastika (Ibu Romi) dan Asri (Romi). Lalu, kenapa berjudul Semua Suka Roma? Alasannya, si pemeran utama berkarakter sopan, tulus dan baik. Dengan kata lain, produsen ingin menciptakan persepsi “hero” di masyarakat lewat peran Roma dalam sinetron tersebut sesuai dengan karakter merek Roma. “Hero itu tidak mesti perang mnelawan korupsi. Berlaku jujur, baik mampu menasihati pun sudah hero,” papar Yanty.

Brand Investment
Menurut Yanty, sebagai orang marketing, dia dituntut melakukan terobosan dalam aktivitas brand investment yang punya nilai dan sejalan dengan brand dan corporate culture. Pilihan itu kemudian jatuh ke dalam bentuk sinetron. “Kami kan orang marketing tentu doing bisnis. Kami enggak mungkin membuat sesuatu yang bukan untuk tujuan brand dan tujuan penjualan. Ujung-ujungnya adalah sebuah brand investment, tapi yang punya value dan sejalan dengan brand dan corporate culture ya. Kami enggak mau bikin sesuatu yang merugikan masyarakat,” katanya.

Sebagai produsen yang punya komitmen terhadap pilihan tontonan, sambung Yanty, pihaknya merasa prihatin dengan sejumlah sajian televisi. Rata-rata, pemasang iklan lebih melihat rating untuk memasang iklan. Sementara, rating tertinggi rata-rata ada pada tontonan yang kurang edukatif seperti cerita jahat, kriminal dan misteri. Makanya, format S2R dibuat dalam bentuk sinetron komedi situasi. Tujuannya agar bisa ditonton semua anggota keluarga

Ide pembuatan sinetron ini bermula dari keinginan membangun merek Roma tidak melalui iklan. Artek n Partners yang menjadi mitra PT Mayora Indah diminta untuk mencari alternatif. Ketika digodok, yang juga melibatkan PH milik Jeremy Thomas, muncul gagasan dalam bentuk sinetron.

Sebelum sampai ke bentuk yang sekarang, papar Yanty, sempat muncul ide untuk membuat Warung Roma Warung Gosip. Tapi, gagasan ini mental karena tidak mendidik. PT Mayora ingin hiburan yang educated dan sopan. Lahirlah sinetron Semua Suka Roma.

Saat ini, produksi sinetron tersebut sudah lima episode dari 13 episode dan ditayangkan setiap Sabtu pukul 17.00 WIB si SCTV. Maunya, pihak Mayora ditayangkan pas prime time sekitar pukul 18.30. Hanya saja tidak dapat slot. Meski begitu, menurut pengakuan Yanty, rating S2R sudah mencapai angka 3.

Berapa bujet yang digelontorkan untuk membuat sinetron tersebut? Yanty enggan menyebutkan angkanya. Yang pasti memang sangat besar. Sebagai tayangan yang mengusung sebuah merek, konsep produknya pun ke SCTV bukan jualan. Tetapi, PT Mayora bisa meyakinkan SCTV, sinetron itu punya memiliki nilai jual. Karenanya, kerja sama dengan pihak stasiun televisi dibuat dalam bentuk semi blocking.

Setidaknya, sinetron ini tidak hanya akan membentuk relationship dan loyal customer. Lebih jauh, dapat pula membangun “advocator customer”. Kalau sudah begitu, pelanggan menjadi pembela terdepan sekaligus juru bicara merek secara suka rela. Rekomendasi pelanggan ini adalah alat promosi yang amat efektif dan ampuh dalam mempengaruhi pelanggan prospek. Maka tidak berlebihan jika Yanty berharap S2R bisa menciptakan loyalitas konsumen terhadap merek Roma.

Tapi, asal tahu saja, Roma bukanlah produk pertama mengangkat merek dalam bentuk sinetron. Sebelumnya, ada Sampoerna Hijau yang juga diangkat ke layar kaca oleh Karnos Film lewat lima personel Geng Hijau yang lucu dan unik.(Tajwini Jahari & Miranda Hutagalung, Majalah Marketing)

No comments: