‘ORANG LAIN, PEJABAT JUGA BEGITU’

Tukul didemo anak-anak SD, pas di hari Kebangkitan Nasional. Mereka protes adegan cium pipi kanan-kiri antara Tukul dengan bintang tamu cantik-cantik seksi yang selalu dapat aplaus meriah di ‘Empat Mata’.

Selasa malam lalu, di ruang rias Studio 9 Trans 7, Tukul bersantai di sofa, ngobrol dengan kru.


Ia baru pulang balik hari Jakarta-Bandung untuk acara ‘Ketawa in Campus’.

Nampak tak begitu lelah, Tukul melempar senyum pada siapa saja yang menatapnya, juga yang baru sekali itu bertemu. Layaknya selebriti, Tukul juga sabar melayani permintaan foto bersama.

Saat acara ‘Empat mata’ direkam, anak sematawayangnya, Novita Eka Afriana, 8, asyik main di belakang panggung bersama anak tetangga. Para tetangga Tukul memang sering jadi suporter di studio bersama istri Tukul, Susiana.

Menurut Susiana, suara-suara miring itu tak terlalu mengganggu suaminya.

“Biasa saja, itu sudah garis Allah. Kita tinggal mendengar saja orang ngomong apa, nggak usah dibawa emosi,” ucap Susi.

Tukul pun tak suka mengendapkan masalah dalam hatinya.

“Saya suka menganalisa, seperti berita satu tahun ini, terus menengok ke belakang, mengingat yang buruk-buruk, buat saya itu menghabiskan energi,” kata Tukul


Tidak Silau

Meski dikelilingi bintang tamu cantik-cantik, Tukul mengaku tidak silau.

“Saya bisa mengendalikan diri, semua itu tergantung bagaimana niat kita. Karena mencari nama itu susahnya bukan main, saya nggak mau merusaknya,” ungkap Tukul.

“Mental saya sudah kuat, nggak kaget dengan kemewahan, kekayaan, popularitas. Biasa-biasa saja,” lanjutnya.

Soal protes cipika-cipiki dengan yang bukan muhrimnya, Tukul langsung bereaksi.

“Saya terima dengan lapang dada, tidak banyak cing-cong, tidak ada lawan-lawan. Saya malah senang karena ini tantangan untuk menggali materi yang lebih segar dan cerdas.”

Menurutnya, tanpa rapat-rapat segala dengan tim kreatif Trans 7, Tukul langsung tak lagi bercipika-cipiki.

“Nggak ada (cipika-cipiki, Red) ya nggak apa-apa. Untungnya apa, ruginya apa, saya juga nggak tahu,” ucap Tukul.


Maunya Apa Sih?

Ternyata Tukul Sekedar Ikut-ikutan. “Kan kalau ketemu orang, saya lihat orang-orang lain, ada pejabat juga, kan begitu, kesannya modern. Saya hanya ikut-ikutan sebetulnya. Nggak ada tujuan apa-apa, nggak ada memanfaatkan bintang tamu, wong saya punya anak istri.”

“Menurut saya lebih bagus bebas tapi sopan. Kalau diminta kayak begitu ya nggak apa-apa. Sebetulnya itu kan maksudnya, ini lho wong elek iso ngambung wong ayu (orang jelek bisa mencium orang cantik, Red), bukan wong ganteng ngambung wong ayu. Orang jelek juga berhasil kalau punya kemampuan, semangatnya itu, tak ada tujuan aneh-aneh,” lanjutnya.

Protes juga ditujukan pada pakaian bintang tamu perempuan yang dinilai tidak sopan dan humor Tukul yang sebagian dinilai porno.

“Maunya apa sih sebetulnya, saya pelawak, tujuan saya kan menghibur saja. Banyak ujian, bencana, mungkin stres atau gimana, kerjaan saya menghibur, bikin orang ketawa, tersenyum. Tak ada niat di benak saya untuk melecehkan, bikin kejelekan orang atau membodohi. Makanya di akhir acara, saya selalu bilang just kidding, just for laugh.”


Toh Pipinya Nggak Lecet

Susi juga tak terlalu memberatkan hati dengan komentar-komentar orang tentang suaminya.

“Saya kalau kayak gitu-gitu nggak saya masukkan dalam hati. Omongan kurang enak, masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Saya tahunya Mas Tukul bekerja,” kata Susi.

Malah teman-teman dekat Susi yang suka gemas melihat Tukul bercipika-cipiki.

‘Sus, kamu nggak cemburu melihat Tukul cipika-cipiki?’ Susi menirukan pertanyaan teman-temannya.

“Sudah biasa, itu pekerjaan. Ngapain cemburu, dia capek-capek kerja cari uang. Boleh-boleh saja saya cemburu kalau bisa mencari duit kayak Mas Tukul. Apanya yang mau dicemburui, toh pipinya nggak rusak, nggak lecet, pulang utuh,” kata Susi.

Susi juga tak khawatir Tukul kecantol pada salah satunya.

“Kecantol sama siapa, mereka kan sudah punya suami, ganteng-ganteng,” kata Susi, tertawa kecil.


Tak Ketemu Anak, Sedih

Dulu, ketika melihat Susi pertama kali, Tukul yakin dialah perempuan baik yang bisa dijadikan istri. Susi yang saat itu kasir di supermarket di daerah Blok S, Kebayoran, bertemu Tukul di jalan.

“Tukul memberi kartu nama, ada nomor pagernya. Karena penasaran beneran atau tidak, esoknya saya hubungi pagernya, ternyata benar dia,” kenang Susi.

Dari obrolan di pager, keduanya lalu sering bertemu.

“Setelah pacaran setahun satu bulan, kami menikah,” lanjut Susi. Susi merasa, Tukul dulu dan sekarang tidak berubah.

“Dari awal, istri saya komitmen, pekerjaan saya pelawak, tidak ada pensiun, tidak ada uang bulanan, nggak jelas. Dia mau, ya sudah,” cerita Tukul.

“Dasar rumah tangga itu, niat kita main-main atau serius. Dengan istri, saya jaga komunikasi dan perhatian. Nomor satu pulang, aku cari anak. Habis dari luar kota, pulang nggak ada anak, saya sedih,” tutur Tukul.


‘Adikku Tukang Ojek’

Siapa menyangka, Tukul yang tampak serba gemerlap dan mengkilap di layar kaca ternyata disikapi dengan wajar oleh keluarga besarnya yang bersahaja.

Ayahnya, Abdul Wahid yang usianya sudah berkepala tujuh di Semarang, masih menjahit di pinggir jalan.

“Mbetulin kerah baju, menembel yang sobek-sobek. Sekali nembel, upahnya dua ribu sampai tiga ribu rupiah,” cerita Tukul, apa adanya.


Ibunya Tukul sudah meninggal.

Kakak pertamanya, Siti Rondia di Semarang, tamatan SMEA, jadi pedagang serabutan.

“Ada tv, jual tv. Ada motor, jual motor. Nggak punya tempat, disebut makelar bisa juga,” kata Tukul.

Kakak keduanya, Siti Kowiyah, tamatan SMP, juga di Semarang, jualan rombengan (baju-baju bekas) di pasar.

Adiknya, Sutadi, tamatan SMP, jadi tukang ojek. Sutadi yang sudah lebih dulu menikah ini sejak tahun 2004 tinggal di rumah Tukul, sementara istri dan anaknya di Semarang.

Sutadi ingin sukses seperti Tukul, makanya ia suka ikut casting di sana-sini.

“Kalau nggak ada casting, dia narik ojek. Penginnya seperti saya tapi nggak gampang, di Jakarta berat sekali, tergantung kemampuan, keyakinan dan percaya diri,” tutur Tukul.

“Siapa tahu nanti dapat iklan pengaman anjing terbaik,” kata Tukul mencandai Sutadi.

“Castingnya sering, gagal melulu. Dia hidup untuk gagal,” seloroh Tukul, tidak membuat Sutadi tersinggung. Adiknya ini malah mesam-mesem.

Bukan berarti Tukul membiarkan keluarganya hidup susah.

“Mereka senang kehidupan seperti itu. Saya memberikan kasih sayang dengan perhatian dan memberi apa yang mereka minta. Kita tidak bisa memaksa kemampuan orang, tiap orang punya kapasitas,” tutur Tukul.


Culun-culun


Lucunya, semua saudara Tukul punya panggilan unik.

“Rondia dipanggil Cemplon, Kowiyah dipanggil Ceplis, saya Riyanto dipanggil Tukul, Sutadi dipanggil Bendel. Keluarga saya tuh pokoknya katro-katro (ndeso-ndeso) semua, culun-culun,” cerita Tukul, tanpa beban.

Tukul tidak malu dengan itu semua.

“Untuk kasih contoh masyarakat, orang harus kerja keras. Makanya kalau ada orang enak-enakan, saya nggak senang. Orang jangan enaknya saja, susah juga harus dinikmati.”

Kowiyah, saat dihubungi via telpon, mengaku keluarga di kampung bangga dengan kesuksesan Tukul.

“Senanglah, namanya anak sudah jadi artis, adik sudah jadi artis. Tukul sayang sama saudara, sayang bapak, kita minta bantuan ya dibantu,” cerita Kowiyah dengan logat Jawa medok.

“Saya mau diajak umroh, berangkatnya 10 hari sebelum bulan Juli,” lanjut Kowiyah, gembira.

Meski adiknya sudah ngetop, Kowiyah tak gengsi jualan baju, celana dan kaos bekas.

“Wong kebiasaan tuh, memang saya hobi, kalau disuruh duduk yo nggak enak,” katanya.

Sama seperti Kowiyah, Sutadi juga bersikap sama. Ia tak merasa harus risih menjadi tukang ojek.

“Kalau ngojek, saya tetap ngantri sesuai urutan,” cerita Sutadi, polos.

Menurut Sutadi, kakaknya itu orang yang tegas dalam hidup.

Di pinggir jalan depan rumah, Tukul membuat pangkalan ojek ‘Ojo Lali’.

“Ojo lali itu kan artinya jangan lupa, don’t forget, walaupun kamu di Jakarta harus ingat keluarga di kampung. Ketika berhasil, ingat waktu belum berhasil,” cerita Tukul.


Tak Ingin Pindah ke Pondok Indah


Begitu padatnya jadwal Tukul, sampai-sampai dia menawarkan kalau WI mau berkunjung ke rumahnya, datang saja pukul 06.30 pagi.

“Kalau jam setengah tujuh nggak datang, saya tinggal loh Mbak. Karena saya mau mengisi suara iklan Poldan Mig dan Ardiles.”

Tukul memang selalu menekankan disiplin waktu dalam bekerja. Alasan macet dan lain-lain hanyalah klise buatnya.

Maka Rabu pagi, 23/5, terlihatlah sebuah rumah petak yang di tahun 1999 masih menjadi rumah kontrakannya yang sering kali ia nunggak membayar sewa, kini telah melebar ke atas, kanan, kiri dan depan hingga berpetak-petak. Semuanya milik Tukul, beberapa pintu ia jadikan rumah kontrakan, dua pintu untuk base camp manajemennya.

Segera Tukul bicara dengan bahasa makanan. Duduk lesehan di salah satu rumahnya, pembantu Tukul menghidangkan teh manis hangat, mi rebus, krupuk dan gorengan.

“Ini halal, barokah, enak, ayo dimakan,” kata Tukul, ramah.

“Tamu cepat pulang kalau lapar dan ngantuk,” lanjutnya.


Tukul memiliki 18 karyawan.

“Jangan sebut karyawan lah, orang yang ikut di rumah ini, itu saja,” protes Tukul.

Kalau mau, bisa saja Tukul pindah rumah ke Pondok Indah, katakanlah tetanggaan sama Inul Daratista. Tapi Tukul memilih tetap tinggal di tengah perkampungan di Cipete, Jakarta Selatan.

“Saya senang sosialisasi sama tetangga. Hidup ya begini, ada motor lewat, anak kecil lari-lari, ada yang teriak-teriak, itu saya senang,” tutur Tukul, serius.

Jadi Motivator

Tukul tidak merasa gelisah, tapi…, “Ada orang yang menilai saya lagi booming ini, banyak yang datang ke sini. Artinya datang aneh-aneh, perempuan, laki-laki, muda, tua, orang jauh-jauh, ada yang minta sumbangan. Saya bilang, saya memberi sekian dengan tulus ikhlas, cuma yang membuat saya bertanya-tanya, ada yang menunggu lama-lama, mengharapkan saya sekian, secara psikologis saya merasa maksudnya apa. Kalau sekali-kali dan banget-banget, nggak apa-apa, kadang rekayasa-rekayasa, kesannya dimanfaatkan,” cerita Tukul.

Awalnya Tukul merasa terganggu.

“Setelah saya hadapi dengan pikiran positif, malah saya kasih santapan rohani, bukan siraman rohani. Kalau siraman kan kena matahari, kering. Kalau santapan, dimakan, masuk,” kata Tukul.

“Saya terangkan, di tempat saya ini untuk mendapat Rp 5000 – Rp 10.000 harus dengan kristalisasi keringat. Benar-benar mencarinya tuh menunggu-nunggu, adik saya masih ngojek, menunggu berjam-jam untuk dapat uang Rp 5000. Yang jaga rumah saya, sehari dapat Rp 20.000, sebulan Rp 600.000. Dia menunggu sehari untuk dapat Rp 20.000,” cerita Tukul.

Maksudnya, Tukul ingin menekankan pentingnya kerja keras, ketekunan, pantang menyerah dan tak kenal capek.

“Keinginan tuh harus dikejar dengan ketekunan,” ucapnya.

Tukul lebih senang jadi motivator.

“Membuat yang pesimis jadi optimis, yang tidak pede jadi pede, yang lemah jadi kuat.” (Siti Afifiyah)

No comments: